SuaraJogja.id - Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah resmi disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (12/4/2022) lalu. Kehadiran UU yang telah lama dinanti tersebut diharapkan dapat mengatasi secara maksimal persoalan kekerasan seksual di Indonesia.
Namun tidak dipungkiri masih ada jalan panjang untuk menghapus tindak kekerasan seksual. Diperlukan komitmen semua pihak untuk mengimplementasikan undang-undang tersebut secara kuat.
Terkait implementasi UU TPKS, Dosen Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri Wiyanti Eddyono menyebut sudah sempat mendiskusikannya belum lama ini dengan sejumlah pihak di beberapa daerah. Hasilnya, ternyata masih terlihat ada kegamangan oleh aparat penegak hukum.
"Masih ada kegamangan oleh aparat penegak hukum terutama semua pihak lah. Mulai dari pendamping korban, aparat penegak hukum, terutama kepolisian karena kan undang-undang ini relatif baru," kata Sri saat dihubungi, Jumat (15/7/2022).
Baca Juga:Marak Kasus Kejahatan Seksual, Komnas HAM Desak UU TPKS Segera Diterapkan
"Paradigmanya berbeda dan banyak yang istilahnya itu bahasanya karena tindak pidana khusus itu menyimpangi prinsip-prinsip umum yang selama ini dianggap tidak terlalu pas dengan penanganan kasus kekerasan seksual," sambungnya.
Waktu sekitar 3 bulan dari UU TPKS disahkan dinilai masih terlalu singkat. Ditambah lagi ada banyak pihak yang kemudian belum mengetahui isinya.
Ia tak memungkiri implementasi undang-undang tersebut memang membutuhkan waktu. Sehingga saat ini yang paling penting adalah harus segera dilakukan sosialisasi terhadap peraturan ini.
"Kepada terutama pihak-pihak yang memiliki kewenangan dan tugas untuk menangani kasus kekerasan seksual," ucapnya.
Sejumlah Hambatan Penerapan UU TPKS
Baca Juga:Komnas HAM: Kekerasan Seksual Jadi Ancaman Serius Bagi Anak-Anak, Polri Harus Terapkan UU TPKS
Implementasi UU TPKS sendiri menghadapi sejumlah hambatan. Namun, kata Sri, dua hambatan yang paling utama sejauh ini terkait kapasitas dan budaya institusi.