Gangguan Kesehatan Mental Hantui Ibu Hamil di DIY: Minim Dukungan Keluarga hingga Krisis Psikolog

Puluhan ibu hamil di Bantul alami gangguan kesehatan mental. Hal itu diperparah kurangnya psikolog. Dan itu tak hanya terjadi di Bantul tapi juga Kulon Progo dan Gunungkidul

Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Rabu, 16 Oktober 2024 | 12:05 WIB
Gangguan Kesehatan Mental Hantui Ibu Hamil di DIY: Minim Dukungan Keluarga hingga Krisis Psikolog
Ilustrasi ibu hamil alami gangguan kesehatan mental. [Dok.Antara]

SuaraJogja.id - Kehamilan seharusnya menjadi momen bahagia bagi setiap keluarga. Namun untuk sang calon ibu, belum tentu kebahagiaan itu dirasakan sepenuhnya. 

Penelitian telah menghubungkan bahwa stres yang dialami ibu hamil atau bumil berdampak pada janin yang lahir dengan berat rendah. Risiko fisik lainnya untuk janin termasuk kemungkinan lahir prematur dan yang paling parah bisa menyebabkan keguguran.

Beruntung kecemasan dan stres yang berlebihan itu tidak dirasakan Christi (30) pada saat mengandung sang buah hatinya dua tahun silam. Kini putrinya sudah bertumbuh dengan kondisi yang sehat.

"Stres yang berlebihan sih enggak. Cuma memang ada kekhawatiran," kata warga Sleman tersebut.

Baca Juga:Heboh Penemuan Mayat Pelajar Bantul di Tempat Penggergajian Kayu, 11 Orang jadi Tersangka Pengeroyokan

Christi menceritakan masa-masa kehamilannya dulu. Sebenarnya, kehamilannya termasuk dalam kategori yang tak direncanakan. Pasalnya ia mengaku belum begitu siap untuk memiliki momongan pada saat itu.

Namun kehendak berkata lain, Christi dan suami justru dikaruniai seorang anak. Ketidaksiapan memiliki anak itu salah satu yang memunculkan ketakutan-ketakutan dalam dirinya.

Mulai dari keraguan saat menjadi seorang ibu bagi anaknya nanti, kekhawatiran terjadi sesuatu yang tak diinginkan kepada sang anak, hingga mempertanyakan diri sendiri terus menerus tentang kesiapannya. 

"Aku bingung terus takut nanti bagaimana merawat anakku, gimana kalau terjadi sesuatu saat lahir dan lain-lain. Kepikiran sih tapi karena ini berkah, jadi pasti diterima," tuturnya. 

"Kemudian mau tak mau harus mulai memakan makanan bergizi, aku yang awalnya tak suka sayur lalu makan sayur, bukan cuma buat aku tapi juga calon anakku saat itu," imbuhnya.

Baca Juga:Titik Rawan Kecelakaan Jadi Fokus Operasi Zebra Progo 2024 di DIY

Tidak sampai mengubah kesehariannya saat menjalani hari-hari pada saat kehamilan memang. Namun, berbagai kegelisahan itu sempat melintas.

Apalagi kemudian jelang melahirkan bobot janin di perutnya justru menurun. Christi bahkan hingga mencari second opinion ke dokter lain untuk memastikan kesehatan janinnya.

"Sempet panik ketika tinggal beberapa minggu itu malah ada bobot (kandungan) turun, tapi begitu dicek ke dokter lainnya, katanya masih normal. Jadi agak lega," ungkapnya.

Puluhan Bumil Alami Gangguan Kesehatan Mental

Christi merupakan sedikit orang khususnya ibu hamil yang beruntung mampu keluar dari kegelisahan itu. Pasalnya, tak sedikit yang kemudian terjebak dalam kekhawatiran berlebih tersebut.

Seperti yang kemudian tercatat dalam skrining kesehatan jiwa yang dilakukan terhadap setiap ibu hamil yang ada di Kabupaten Bantul. Dari catatan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bantul hingga September 2024 kemarin, ada 80 kasus ibu hamil yang mengalami gangguan kesehatan mental.

"Sampai bulan September kemarin ada 80 kasus ibu hamil yang mengalami gangguan kesehatan mental dari mulai yang ringan," kata Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi, Dinkes Bantul, Siti Marlina. 

Disampaikan Siti, skrining kesehatan mental para bumil itu dilakukan dengan metode SRQ-29 yang sudah dipatenkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Skrining itu menjadi salah satu syarat untuk pelayanan pemeriksaan kehamilan di puskesmas, minimal satu kali dalam periode kehamilan.

Gangguan kesehatan mental pada ibu hamil ini tidak serta merta muncul saat terjadi kehamilan. Ada kasus pada ibu yang sebelum hamil sudah mengalami gangguan mental bahkan termasuk di akhir kehamilan.

Ada pula beberapa kasus gangguan mental yang muncul setelah masa nifas atau setelah melahirkan. Misalnya saja baby blues syndrome atau depresi yang lain pada ibu hamil.

Berdasarkan skrining yang telah dilakukan itu, Siti mengungkap ada yang memang bumil dengan gangguan mental organik atau dialami sebelum mengandung. Namun sejauh ini tidak ada catatan bumil dengan gangguan mental yang berujung mengakhiri hidupnya.

"Jadi dia ibu hamil yang skizofren itu ada, tapi ini sudah melahirkan. Ada gangguan mental organik itu akibat penyakit yang lain yang berkaitan dengan saraf otaknya. Depresi bipolar itu juga ada. Jadi gangguan kepribadian bipolar atau depresi berat itu juga ada. Kalau yang menyebabkan sampai dia bunuh diri enggak ada," tandasnya. 

Minim Dukungan Keluarga Jadi Penyebab

Siti menjelaskan gangguan mental pada seseorang itu terbagi ke dalam beberapa klasifikasi. Mulai dari yang bergejala ringan, sedang hingga berat.

Termasuk dengan kasus atau jenis gangguan mental itu sendiri yakni kecemasan, stres, gangguan penyesuaian hingga depresi. Termasuk sampai ke arah psikotik atau orang dengan gangguan jiwa berat.

Hal itu kemudian diperparah dengan kesadaran untuk memeriksakan diri yang rendah. Tak jarang para bumil yang sudah memiliki gangguan kesehatan mental tapi tak meminta bantuan profesional untuk menangani.

"Tapi mereka ini tidak selalu datang ke rumah sakit," ucapnya.

Disampaikan Siti, ada berbagai penyebab yang dapat memicu gangguan kesehatan mental bagi bumil. Salah satu yang paling kerap ditemukan adalah minimnya dukungan dari keluarga.

"Penyebabnya karena memang utamanya bisa dari support keluarga yang kurang, kehamilan tidak diinginakn atau direncanakan, kemudian ada riwayat depresi sebelumnya itu menjadi salah satu faktor untuk memperberat gangguan kesehatan mentalnya," tuturnya.

"Kemudian masalah sosial ekonomi, masalah keluarga, itu yang paling sering, masalah keluarga, support dari keluarga kurang dari suami kurang," imbuhnya.

Ada pula penyakit bawaan atau penyerta lain yang sudah diidap oleh sang ibu hamil. Misalnya saja diabetes, hipertensi atau penyakit lainnya, termasuk kehamilan itu sendiri.

"Itu (penyakit bawaan) juga akan berpengaruh terhadap psikologis seorang wanita hamil. Dan kehamilan sendiri itu juga membuat seorang ibu itu menjadi sensitif rentan untuk kondisi kejiwaannya," ujarnya.

Gangguan kesehatan mental itu bukan sesuatu yang ideal bagi ibu hamil. Pasalnya, kata Siti, kondisi tersebut dapat berpengaruh kepada kondisi si ibu dan calon bayinya nanti.

"Mereka akan meningkatkan resiko untuk terjadi komplikasi ya dalam kehamilan maupun persalinannya atau pun pada masa nifasnya, dengan adanya gangguan jiwa ini," cetusnya.

Risiko itu semacam efek berantai dari tindakan di awal. Terlebih ketika bumil tak mau melakukan pemeriksaan kesehatan kehamilan secara rutin, hingga nanti saat nifas yang ibu akan semakin rentan.

"Karena setelah melahirkan itu bebanya malah juga bertambah karena harus mengurusi keluarganya, bayinya, itu juga bisa menjadi stresor bagi ibu hamil sendiri," tandasnya.

Kekurangan Psikolog

Diakui Siti, saat ini Kabupaten Bantul masih mengalami kekurangan sumber daya manusia (SDM) kesehatan, khususnya psikolog maupun psikiater. Total dari 27 puskesmas yang ada di Bumi Projotamansari, baru ada 16 puskesmas yang terdapat pelayanan psikologis klinis.

Bahkan di RSUD saja hanya tersedia satu psikolog dan satu psikiater. Jumlah itu dinilai masih sangat kurang untuk mencukupi kebutuhan masyarakat.

Apalagi untuk psikolog klinis yang membuka praktik sendiri di Bantul pun tak banyak. Sehingga masyarakat terbatas untuk mencari pertolongan terkait kesehatan mentalnya kepada tenaga profesional. 

"Jadi sebenarnya untuk SDM kesehatan kita masih kurang tapi kalau akses ke fasilitas kesehatan mungkin masih bisa, masih terjangkau," ucapnya.

Menyiasati hal itu, Dinkes Bantul bergerak dengan memberikan pelatihan-pelatihan kepada dokter dan bidan. Sehingga setidaknya, deteksi dini atau skrining bagi para bumil itu bisa dilakukan.

"Jadi teman-teman bidan itu kita latih untuk melakukan skrining dan konseling sederhana kepada ibu hamil. Kemudian dokter juga kita latih untuk latihan kesehatan mental maternal. Jadi mulai screening, tata laksanakan sampai konseling," ungkapnya.

"Kader juga dilatih bagaimana melakukan deteksi dini kepada ibu-ibu hamil yang dipantaunya. Kemudian bisa melakukan komunikasi kepada ibu hamilnya, bukan konseling tapi komunikasi dan melaporkan kepada tenaga kesehatan," sambungnya.

Rencanakan Kehamilan Penting

Bukan hanya dari sisi pelayanan kesehatan saja yang kemudian menjadi fokus. Edukasi kepada para pasangan atau keluarga usia produktif turut digencarkan.

Termasuk dalam hal ini ditekankan tentang pentingnya merencanakan kehamilan dengan matang. Mulai dari pertimbangan usia, potensi risiko yang bakal muncul, hingga kesehatan fisik dan psikis sebelum memutuskan.

"Skrining prakonsepsi itu juga sangat penting. Selain skrining masalah kesehatan fisik, tentu juga kesiapan mental dari pasangan usia subur," tandasnya.

Kemudian pada saat hamil, Siti menekankan harus ada support yang baik dari seluruh lingkungan terdekatnya. Terpenting adalah keluarganya sehingga tercipta kondisi yang baik selama prosesnya.

"Tetapi kalau kehamilan itu tidak diinginkan, atau tidak direncanakan, ini menjadi beban bagi si ibu sendiri maupun keluarga. Itu menjadi stresor sendiri juga bagi ibu," tegasnya.

"Sehingga support dari keluarga sejak awal sudah sangat penting. Perencanaan kehamilan yang baik juga sangat penting," tambahnya.

Jika kemudian orang terdekatnya yakni suami mulai merasakan ada perubahan dari segi psikologis, Siti berharap bisa ditindaklanjuti dengan cepat. Melakukan skrining awal, edukasi tenaga kesehatan dan ibu hamil. 

Sehingga menimbulkan kesadaran dan meningkatkan pengetahuan bahwa kesehatan mental itu sangat dibutuhkan. Baik selama kehamilannya sampai nanti masa nifasnya atau sampai bayinya besar.

"Sehingga kalau ibu-ibu seperti ini dia mengalami gangguan masalah psikologis, dia menyadari, dia bisa sadar, kemudian dia berusaha mencari bantuan profesional. Ini juga penting diketahui suami atau keluarganya," ungkapnya.

Angka Kematian Ibu di DIY

Kepala Seksi Kesehatan Masyarakat Keluarga dan Gizi Masyarakat Dinas Kesehatan DIY, Prahesti Fajarwati memastikan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir tidak ada kasus kematian ibu yang disebabkan akibat gangguan mental. 

Tren kematian ibu di DIY sejak empat tahun terakhir cukup dinamis. Pada tahun 2020 tercatat ada 40 kasus, 2021 cukup tinggi disebabkan pandemi Covid-19 yakni mencapai 131 kasus, lalu 2022 ada 43 kasus dan 2023 semakin turun mencapai 22 kasus. 

Kabupaten Bantul menjadi daerah yang paling banyak kasus kematian ibu. Mengingat dari segi jumlah penduduk yang paling banyak pula.

Penyebab kematian ibu hamil di DIY yang paling sering ditemui yakni masih berhubungan dengan pendarahan. Sedangkan kasus yang berhubungan dengan gangguan mental, sudah terjadi pada 10 tahun yang lalu.

"Kalau di DIY paling banyak masih di perdarahan, ada gangguan hipertensi pada ibu hamil, kemudian ada beberapa infeksi, selain itu penyakit-penyakit yang tidak berkaitan langsung dengan kehamilannya," ungkap Prahesti.

"(Kesehatan mental) itu pasti juga akan sangat berpengaruh kondisi kesehatan ibu, karena dulu berapa tahun, mungkin 10 tahunan yang lalu, pernah ada kematian ibu juga tetapi disebabkan karena masalah kesehatan jiwa," imbuhnya.

Saat ini Dinkes DIY masih terus mengupayakan perbaikan layanan kesehatan mental kepada masyarakat. Terlebih dengan integritas pelayanan kesehatan primer yang telah dicanangkan secara nasional.

Prahesti tak menampik saat ini layanan untuk kesehatan jiwa di kabupaten/kota masih belum optimal. Masih perlu penguatan dari sisi SDM dan sarana prasarana hingga tataran paling bawah.

"Sampai saat ini dari 121 puskesmas (di DIY) sudah 87 yang sudah melaksanakan integrasi layanan primer. Itu saja mungkin pelaksanaan skrining (kesehatan mental) belum 100 persen, sebab ada keterbatasan," ucapnya.

Belum lagi berbicara tentang sebaran psikolog klinis yang masih jauh dari kata memadai di beberap kabupaten. Hingga saat ini praktis hanya ada di Kabupaten Sleman dan Kota Jogja yang semua puskesmasnya memiliki layanan psikolog klinis.

"Tetapi di Kabupaten Bantul itu baru tersedia itungannya itu mungkin 1 psikolog intuk 3 puskesmas, sekitar itu. Jadi ya belum ada di semua," tandasnya.

"Namun yang masih menjadi PR itu yang di Kulon Progo dan Gunungkidul, itu belum ada psikolog sama sekali di puskesmas," sambungnya.

Walaupun memang pihaknya tidak tinggal diam ketika ada kasus-kasus permasalahan terkait dengan kesehatan jiwa. Pelatihan kepada bidan dan perawat, seperti yang dilakukan Dinkes Bantul itu pun dilakukan.

Termasuk dengan memaksimalkan rujukan ke rumah sakit pada kasus-kasus yang sudah berat. Selain penguatan sistem layanan, Prahesti menegaskan perlunya dukungan semua pihak kepada ibu hamil. 

Stres saat Hamil, Anak Berpotensi Terpengaruh

Berdasarkan sejumlah penelitian yang telah dilakukan mengungkap bahwa anak-anak yang dilahirkan dari para ibu yang mengalami stres atau memiliki gangguan kesehatan mental sewaktu hamil berisiko terkena persoalan kesehatan jiwa di masa mendatang.

"Sudah ada penelitian-penelitian bahwa kalau, memang kalau penelitiannya kausalitas ya tidak mungkin ya, penyebab itu kita tidak bisa klaim tapi ternyata kecenderungan untuk mengalami gangguan psikologis pada saat perkembangannya nanti itu ternyata juga memang lebih tinggi ditemukan pada ibu-ibu hamil yang ketika hamil itu mengalami gangguan psikologis," kata Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Sutarimah Ampuni.

"Termasuk juga konsumsi alkohol dan obat-obatan, itu bisa berisiko, gangguan seperti misalnya hyperaktivitas, ADHD dan gangguan lainnya," sambungnya.

Dosen Fakultas Psikologi UGM itu menyebut ibu-ibu hamil sangat memerlukan kondisi yang sehat baik secara fisik maupun psikis. Pasalnya kondisi psikis ibu hamil yang tidak sehat berpotensi pula memengaruhi kesehatan janin, terutama dari sisi psikologis. 

"Kalau ibu tidak sehat mental, nanti asupan nutrisi menjadi terganggu, tidak bisa mengelola asupan nutrisi dan lain-lain. Kondisi kecemasan, gangguan psikologis lain nanti bisa juga mengakibatkan pertumbuhan janin menjadi terganggu juga, karena tadi stimulasi tadi menjadi tidak optimal," ungkapnya.

Ampuni menekankan pentingnya setiap pribadi, tidak hanya ibu hamil saja, untuk mengenali diri sendiri. Menyadai bahwa masing-masing individu memiliki kerentanan yang berbeda-beda. 

Ada pribadi yang kuat dengan tekanan dan kondisi apapun. Namun di sisi lain, ada pribadi yang mudah terganggu dengan kondisi yang tak sesuai harapan.

Khusus kepada ibu hamil atau setidaknya bagi perempuan usia produktif yang sudah menikah, mengenali diri sendiri bisa menjadi modal untuk melangkah ke jenjang berikutnya. Termasuk keputusan memiliki momongan.

"Itu perlu disadari, karena sekarang belum banyak yang sadar tentang hal itu. Jadi sebaiknya mengenali diri sendiri. Kalau sudah menyadari syukur itu nanti saling dikomunikasi dengan pasangan dan saling diantisipasi," tuturnya.

Sebab, kata Ampuni, hamil membutuhkan kesiapan matang. Tidak hanya calon ibu seorang tetapi juga keluarga dan lingkungan sekitarnya.

Pemahaman mengenai kehamilan itu sendiri penting bagi para calon ibu serta ayah. Sehingga memang diperlukan edukasi kepada pasangan usia subur.

"Ibu hamil juga harus bisa mengelola dirinya. Agar tidak terlalu stres. Misal dari pekerjaan. Ya itu harus diantisipasi. Ini agak sulit memang. Tapi bisa dengan dikomunikasikan dengan pemberi kerja, teman kolega dan yang lain," ucapnya.

"Sangat penting dukungan lingkungan terutama pasangan. Untuk membuat ibu hamil sejahtera secara psikologis itu sama sekali bukan urusan si istri. Karena kondisi psikologis sangat ditentukan oleh relasi dengan sesama. Jadi bagaimana ibu hamil bahagia kalau suami kurang perhatian apalagi abusive," tambahnya.

Bagi calon ibu yang sudah menderita gangguan kesehatan mental sejak sebelum hamil, Ampuni bilang harus diperhatikan dengan seksama. Mengingat akan ada banyak perubahan yang terjadi saat perempuan itu hamil.

Misalnya saja bagi para penyandang gangguan skizofrenia. Kehamilan bukan tak mungkin akan memicu kekambuhan pada gangguan psikologis sang ibu.

"Jadi banyak orang yang memiliki kerentanan sejak sebelum hamil itu memang dia mudah terganggu. Misalnya mudah cemas, atau depresi, ada yang skizofrenia, itu sangat mungkin untuk terpicu atau kambuh ketika hamil karena ketika hamil itu hormon menjadi berubah kontelasi hormon dan sebagainya," tuturnya.

Komunikasi dengan dokter atau tenaga profesional terkait kesehatan mental sebelum memutuskan hamil penting untuk dilakukan. Guna menekan potensi kambuh saat mengandung bahkan pascamelahirkan.

"Bisa saat hamil cenderung sensi. Itu alangkah baiknya, yang ideal itu dikomunikasikan dengan dokternya, jadi nanti dokternya bisa mengantisipasi," imbuhnya.

Antisipasi dari pasangan serta orang-orang terdekat bisa mendukung hal itu. Sehingga meminimalkan pemicu itu muncul bagi para ibu hamil yang memiliki gangguan kesehatan mental.

"Kalau secara psikologis untuk pencegahan intinya harus ada antisipasi dengan pasangan, menjaga supaya tidak terjadi pemicu. Karena kalau sudah ada kerentanan tidak bisa diatasi, kalau terlanjur ada pemicu. Jadi ya yang bisa dilakukan menghindarkan supaya tidak ada pemicu," pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini