SuaraJogja.id - Persoalan sampah dalam waktu belakangan jadi masalah pelik hampir di semua daerah termasuk diantaranya di Kota Yogyakarta. Pertumbuhan penduduk, aktivitas pariwisata hingga lahan yang terbatas menjadi satu dari sekian faktor yang mengakibatkan masalah sampah di Kota Gudeg urung teratasi secara optimal.
Meski begitu, sisi positifnya, persoalan sampah yang pelik itu justru memicu warga Kota Yogyakarta untuk bergerak secara mandiri menyelesaikannya dari hulu. Hal itu setidaknya bisa dilihat dari kelompok masyarakat di Gang Sawo, Kelurahan Cokrodiningratan, Kemantren Jetis. Melalui Magot Ndalem Sawo yang dikelola warga, sampah organik dari rumah tangga mampu disulap menjadi bahan bernilai ekonomis tinggi.
Sekilas ketika dilihat hanya tampak seperti rumah pada umumnya dengan halaman yang cukup luas dan banyak pepohonan. Namun ternyata tempat itu punya kontribusi cukup besar terkait persoalan sampah di Kota Yogyakarta. Bagaimana tidak, Magot Ndalem Sawo ini, pada puncaknya mampu mengolah sebanyak 500 kg sampah organik secara mandiri setiap hari.
Pengelola Maggot Ndalem Sawo Satrio Dimas Herlambang menceritakan bahwa ide pengelolaan sampah dengan budidaya magot ini berawal pada 2022-2023 lalu.
Baca Juga:Tak Belajar dari TPU Mandala Krida, Sampah Liar di Jetis jadi Sorotan, Forpi Jogja Minta DLH Tegas
Satrio mengungkapkan tim penggerak lingkungan bernama Maggot Ndalem Sawo yang dikelolanya bersama warga Kampung Cokrodiningrat, Kota Jogja bermula ketika ia melakukan KKN di wilayah tersebut. Ketika itu ia mendapati adanya rumah kosong yang dijadikan tempat pembuangan sampah.
"Dulu ini rumah kosong, terbengkalai sudah lama, lalu banyak dibuangi sampah dan tumbuh banyak ilalang. Lalu dari situ dimulai membersihkan, kemudian menggunakan metode composting, selain dibuang, lalu dapat disulap menjadi kebun," ungkap Satrio saat ditemui Suarajogja beberapa waktu lalu.
Dari mulanya sampah dikelola sebagai kompos, di kemudian hari upaya pengelolaan sampah yang lebih sistematis berkembang untuk budidaya maggot. Hal itu seiring juga ketika Jogja mengalami kondisi darurat sampah pascaditutupnya TPST Piyungan.
"Itu tahun 2023 kami kemudian bersama Pak Agung di rumah kosong yang kemudian dinamai Maggot Ndalem Sawo. Dimana tempat itu disulap untuk pengelolaan sampah, berkembang mengelola sampah dari sekadar kompos kemudian budidaya maggot," terangnya.
Untuk membudidayakan maggot itu, ia dan tim melakukan edukasi kepada warga sekitar agar membuang sampah organik ke tempat pengelolaan sampah yang dikelolanya.
Baca Juga:Polemik ITF Bawuran: DPRD vs Bupati, Nasib Sampah Bantul Terkatung-katung
Mulanya agak kesulitan untuk menggiring warga di Cokrodiningratan agar memilah sampah organik lalu dikirim ke Maggot Ndalem Sawo. Tapi melalui edukasi selama satu bulan, kesadaran warga mulai timbul.
"Jadi warga kan ada yang buang ke depo setelah didedukasi kemudian rutin memilah lalu buang sampah organiknya ke kami. Sampah-sampah itu kemudian diolah sedemikian rupa untuk pakan maggot. Maggotnya kemudian diberika ke warga lagi untuk pakan ternak hingga untuk praktik edukasi pengelolaan sampah," ungkapnya.
"Warga membawa sisa makanan dari rumah, rata-rata 1 KK bisa 0,6-2 kg tergantung jumlah keluarga. Antusiasme warga cukup banyak saat itu," ucapnya.
Pengelolaan sampah yang berupa budidaya maggot di Cokrodingratan belakangan bisa dikembangkan lagi menjadi sarana wisata edukasi. Rumah Maggot Ndalem Sawo dimasukkan sebagai salah satu paket wisata di lingkungan desa wisata Cokrodiningratan.
"Sekarang ini pengelolaan sampah yang dikelola Maggot Ndalem Sawo selain jadi sarana untuk mengelola sampah juga jadi wisata edukasi satu paket perjalanan bagi yang berkunjung berwisata ke desa wisata Cokrodiningratan," imbuhnya.
Maggot Jadi Pelengkap
Satrio mengatakan bahwa maggot adalah pelengkap dari pengolahan sampah organik. Apalagi diketahui Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta sudah memberikan berbagai program terkait pengelolaan sampah di level rumah tangga. Mulai dari biopori, ember tumpuk hingga pengolahan lain yang bisa dilakukan di rumah atau wilayah. Maggot sendiri, kata dia, adalah pelengkap dari semua program-program tersebut
"Ada biopori, tapi kendalanya prosesnya lama dan kalau enggak betul masukinnya itu juga bisa bau, juga kalau penuh susah. Ada ember tumpuk, kalau udah penuh bingung juga," ucapnya.
"Istilahnya pengolahan sampah organik itu sistem. Kalau cuma biopori aja lama, kalau cuma punya ember tumpuk juga enggak efektif, kalau maggot saja bisa cepat tapi ada sisanya. Nah kalau punya semuanya bisa semakin optimal," imbuhnya.
Berdasarkan data realisasi yang telah dilakukan pada April-Juli 2024 kemarin, total ada 4 ton sampah organik yang sudah masuk dan diolah di rumah maggot itu. Sampah organik itu masih ada di rumah tersebut namun sudah berganti bentuk dan lebih bermanfaat.
Pada puncaknya, Satrio bilang pihaknya bisa mengolah 500 kg sampah organik per hari. Jumlah itu tidak hanya mengandalkan maggot semata tapi juga dengan program lain tadi.
"Dari data terbukti 500 kg terserap semua satu hari, tidak hanya dari maggot saja itu. Pada puncaknya bisa 500 kg per hari, sisa makanan. Itu tertinggi waktu itu, tidak hanya maggot, ada biopori, ember tumpuk, ada compostor juga, itu bisa langsung terserap 500 kg, itu puncaknya. Kalau rata-rata ya 200-300 kg per hari," ujarnya.
Tidak hanya maggot yang punya andil besar dalam mengurai sampah organik. Kasgot atau bekas belatung maggot pun dapat dimanfaatkan untuk pupuk organik.
"Selain magot, ada kasgot juga kotorannya, itu bagus untuk tanaman. Tanaman yang di sini juga bisa untuk ketahanan pangan," tuturnya.
"Kasgot bisa dimasukkan ke biopori itu akan lebih cepat terproses. Jadi istilahnya dari magot itu sudah 80-90 persen kompos. Tinggal dimasukkan ke biopori 3-4 hari sudah jadi. Kalau mentah ke biopori itu lama," sambungnya.
Magotnya sendiri pun juga mempunyai nilai ekonomis. Bisa diolah maupun digunakan sebagai pakan ternak baik ikan maupun ayam dan burung.
Satrio meyakini bahwa sebenarnya persoalan sampah organik sangat memungkinkan diselesaikan di wilayah atau level rumah tangga masing-masing. Program maggot ini sebagai salah satu upaya untuk mengoptimalkan hal tersebut.
Namun sayangnya belum banyak masyarakat yang sadar tentang pentingnya pemilahan hingga pengelolaan sampah secara mandiri. Dia berharap kehadiran budidaya maggot di Kota Yogyakarta dapat semakin meningkatkan kesadaran masyarakat terkait pengolahan sampah organik.
Ndalem Maggot Sawo pun sempat mendapat apresiasi langsung dari Pemkot Yogyakarta. Bahkan Penjabat Wali Kota Yogya, Sugeng Purwanto pernah meninjau langsung ke lokasi beberapa waktu lalu.
Penjabat Wali Kota Yogyakarta, Sugeng Purwanto mengaku sangat mengapresiasi langkah tersebut. Menurutnya keberadaan Ndalem Maggot Sawo merupakan salah satu alternatif untuk pengolahan sampah organik.
Selain itu, lanjutnya, keberadaan Ndalem Maggot Sawo dapat menjadi motivasi agar masyarakat Kota Yogya untuk mengolah sampahnya secara mandiri. Sehingga dapat dijadikan sesuatu yang bermanfaat.
"Ini sangat luar biasa karena bisa menjadi alternatif dan menjadi percontohan untuk warga lainnya untuk mengolah sampah organik dengan cara maggot," ujar Sugeng.
Sugeng pun menegaskan bahwa Pemkot Yogyakarta terus berupaya untuk menumbuhkan peran masyarakat dalam mengelola sampah organik. Baik secara mandiri berbasis masyarakat atau komunitas.