SuaraJogja.id - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok parah 9,19 persen pada Selasa (8/4/2025) atau perdagangan perdana setelah libur panjang Lebaran 2025.
Sentimen global yang negatif, harga komoditas yang melemah, hingga tren inflasi semakin menambah ketidakpastian.
Kepala Departemen Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, I Wayan Nuka Lantara, menuturkan kondisi saat ini tetap bisa dimanfaatkan investor pemula untuk belajar berinvestasi.
Namun, tetap penting untuk bijak dalam mengelola keuangan pribadi dalam situasi sekarang.
Baca Juga:Sleman Pastikan Tak Ada ASN Bolos, Tapi Keterlambatan Tetap Jadi Sorotan
"Sekarang ini sebenarnya justru bisa jadi waktu yang bagus untuk masuk, karena harga saham sedang diskon. Tapi bukan berarti asal beli. Pilih yang fundamentalnya kuat dan masa depannya masih cerah," kata Wayan, Rabu (9/4/2025).
Menurut Wayan, sebelum memutuskan untuk memulai investasi, masyarakat harus memastikan kebutuhan konsumsi terpenuhi. Selain itu, pentingnya memiliki dana darurat yang cukup.
Jika hal-hal itu sudah dipenuhi atau tercukupi maka kemudian bisa mengalokasikan dana untuk investasi.
Ia menyinggung istilah mantap atau makan tabungan yang saat ini tengah marak.
"Kalau tabungan tipis dan pemula melakukan investasi tanpa dikalkulasikan, akan jebol juga," ucapnya.
Baca Juga:Libur Lebaran di Sleman, Kunjungan Wisatawan Melonjak Drastis, Candi Prambanan Jadi Primadona
Ia mengingatkan bahwa investasi bukan soal keberuntungan atau tren sesaat.
Terlebih lagi, dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil sekarang ini.
Keputusan emosional yang hanya ingin memburu cuan semata justru bisa memperbesar risiko. Sehingga diperlukan pertimbangan matang untuk melakukan investasi.
"Jangan sampai keinginan untuk untung besar membuat orang mengorbankan prinsip dasar. Punya penghasilan 10 juta tapi 9 juta diinvestasikan semua, bahkan sampai berani pinjam, itu sangat tidak disarankan," tegasnya.
Wayan juga menyoroti anomali pasar terkait produk investasi belakangan ini.
Contohnya harga emas yang sempat naik, tetapi kemudian turun lagi di tengah pelemahan ekonomi global.
Jatuhnya nilai Bitcoin dan saham teknologi di Amerika Serikat yang turut anjlok dengan portofolio merah di berbagai tempat tak luputu dari sorotan.
Fenomena ini, menurut dia, menunjukkan bahwa pola-pola lama tidak lagi bisa dijadikan patokan mutlak.
Meski penuh ketidakpastian, ia berpendapat investasi tetap penting untuk menjaga daya beli dalam jangka panjang. Jika uang hanya disimpan untuk konsumsi, nilainya akan terus tergerus oleh inflasi.
"Satu-satunya cara membangun 'sekoci' masa depan ya tetap lewat investasi," tuturnya.
Mengingat investasi adalah produk jangka panjang dalam hitungan tahun, ia memberikan ramalan tren pasar setidaknya untuk tiga bulan ke depan.
Berdasarkan analisa pengamatan, Wayan tidak melihat adanya sinyal positif yang kuat, bahkan cenderung mengarah pada pesimisme.
Tidak ada satupun insentif yang menunjukkan adanya optimisme. Jika sentimen tersebut tidak berhenti, kondisi ini membahayakan. Dan tentunya banyak masyarakat yang terkena imbas.
Oleh sebab itu, ia mendorong pemerintah melakukan pengkajian fundamental dan pemetaan ulang terhadap sektor ekspor nasional yang masih bertumpu pada komoditas seperti batubara dan nikel.
"Kita perlu segera mencari celah baru di tengah tekanan global," pesannya.
Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Iman Rachman mengatakan, volatilitas IHSG lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal, khususnya kebijakan ekonomi Amerika Serikat.
Menurutnya, kebijakan tarif perdagangan yang diterapkan AS terhadap negara mitra dagangnya telah memberikan dampak signifikan terhadap pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Sejak pekan lalu, kita melihat adanya tekanan di pasar akibat berbagai isu global. Investor masih cenderung wait and see terhadap kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintahan Donald Trump," katanya, dikutip dari Antara.