Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Senin, 03 Juni 2024 | 15:55 WIB
Ilustrasi UKT mahal. [Suarajogja/Ema Rohimah]

"Pembatalan kenaikan UKT tahun 2024 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim itu hanya sekadar meredam kehebohan saja," kata Darmaningtyas.

Darmaningtyas menyoroti era privatisasi PTN menjadi PTNBH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum). Hal itu yang kemudian berdampak pada merangkak naiknya biaya pendidikan. 

Uang kuliah yang kian mahal merupakan konsekuensi atas kebijakan itu. Hingga sekarang kemudian semakin mempersempit akses masuk ke PTN bagi golongan miskin. 

Aktivis Pendidikan Tamansiswa, Darmaningtyas. [Darmaningtyas/blogspot.com]

"Memprivatisasi dan liberalisasi PTN. Perubahan PTN menjadi PTN-BH itu yang menjadi akar masalahnya karena dari situ anggaran negara menjadi berkurang," ujarnya.

Baca Juga: Ratusan Mahasiswa UGM Terancam Tak Lanjutkan Kuliah Akibat UKT, Kampus Genjot Cari Beasiswa

Sebagai diketahui privatisasi ini yang kemudian mendorong PTNBH membuka ujian masuk melalui jalur mandiri. Kemampuan membayar calon mahasiswa kemudian menjadi dasar penerimaannya. Pola ini sekarang mulai diikuti oleh semua PTN.

Privatisasi ini hanya diterapkan ke PTN yang dianggap mampu secara institusional mencari sumber pendanaan dari sektor lain termasuk swasta. Walaupun kini bukti itu belum tampak nyata dan justru berdampak pada biaya kuliah yang mahal.

Anggaran untuk sektor pendidikan pun disebut belum dapat dimaksimalkan. Padahal sudah seharusnya hal tersebut cukup bisa membantu.

"Anggaran pendidikan itu kan macam-macam untuk gaji guru dan dosen, itu masuk anggaran pendidikan. 20 persen tapi kan tidak sepenuhnya untuk sektor pendidikan, ya idealnya negara memberikan modal yang cukup," cetusnya.

Diketahui kini kampus terkhusus PTNBH masih berpedoman kepada Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional.

Baca Juga: UGM Bakal Tinjau Ulang Kerjasama Jasa Pinjol untuk Bayar UKT Mahasiswa

Pendidikan Tinggi (SSBOPT) dan Kepmendikbudristek Nomor 54 Tahun 2024. Menurutnya akan sia-sia pembatalan kenaikan UKT tahun ini jika aturan tersebut tidak ikut dicabut.

"Bila Permendikbud ini tidak dicabut, maka Permendikbud ini tetap akan berlaku pada tahun-tahun yang akan datang. Padahal, Permendikbud ini tidak hanya mengatur soal UKT saja, tapi juga mengatur soal Iuran Pengembangan Institusi (IPI) yang besarannya bisa maksimal 4 kali lipat biaya operasional kuliah per orang atau disebut biaya kuliah tunggal (BKT)," paparnya.

Sehingga pembatalan kenaikan UKT di tahun 2024 ini seolah hanya semu dan sementara saja. Pasalnya masih ada aturan lain yang kemudian memberi dampak kepada besaran uang kuliah.

Aturan itu, masih menjadi celah untuk kampus mencari dana dari mahasiswanya. Mungkin saat ini tidak melalui UKT tapi tetap tidak menutup kemungkinan bisa pula dari IPI.

"Bisa saja UKT tidak naik, tapi nanti pimpinan kampus akan memungut IPI. Oleh karena itu, pencabutan Permendikbud ini lebih penting dan mendesak daripada membatalkan kenaikan UKT," tegasnya.

"Kalau cuma sekadar membatalkan UKT tapi tidak mencabut Permendikbud, maka sebetulnya hanya melempar tanggung jawab kepada Mendikbud yang akan datang saja," imbuhnya.

Load More