Talikama Kite Community, Bermain Layang-layang Itu Bukan Hanya Tarik Ulur

layang-layang dua dimensi yang tak dimainkan sesuai SOP memiliki dampak yang tak kalah membahayakan.

Galih Priatmojo
Sabtu, 07 November 2020 | 15:35 WIB
Talikama Kite Community, Bermain Layang-layang Itu Bukan Hanya Tarik Ulur
Aktivitas Talikama Kite dan masyarakat saat bermain layang-layang, beberapa waktu lalu. (istimewa/dok.Aji)

SuaraJogja.id - Beberapa waktu belakangan ini, warga Jogja kerap dihibur dengan adanya layang-layang beragam bentuk, warna dan ukuran di banyak sisi langit nan biru.

Layangan yang menghias langit seolah hadir menghibur warga, kala penat menjalani hari dan berjibaku menghadapi pandemi COVID-19. 

Tapi, siapa bilang bermain layang-layang itu asal tarik-ulur benang dan tak ada standar operasional prosedurnya? Pegiat Talikama Kite Community Setyo Aji akan memaparkannya untuk kita.

"Idealnya bermain layang-layang harus di tempat yang lapang, menghindari tiang listrik dan jalan raya. Serta memperhatikan ketinggian dan tertentu, agar tidak mengganggu lalu-lintas penerbangan," ungkapnya, Sabtu (7/11/2020).

Baca Juga:Dukum IKM Daerah Hadapi Pandemi, Disperindag DIY Gelar Jogja Premium Export

Ia juga mengatakan, sebelum bermain, kita perlu menyesuaikan jenis layang-layang dengan lapangan tempat kita bermain.

"Kalau jenis layangan yang sedang tren itu layang-layang naga, itu tidak boleh dimainkan di bukit atau gunung karena anginnya spiral. Itu bisa membelit," kata dia.

Kecelakaan maupun persoalan saat bermain layang-layang sering dialami oleh anak muda, yang belum bisa menyesuaikan jenis layang-layang dengan medan sekitar.

Tentu kita masih ingat, sekitar 23 Oktober 2020 lalu, warganet dihebohkan dengan informasi adanya layangan terbang dan 'melukai' baling-baling pesawat. Landing gear sebuah pesawat berkapasitas puluhan penumpang itu ringsek.

Aktivitas Talikama Kite dan masyarakat saat bermain layang-layang, beberapa waktu lalu. (istimewa/dok.Aji)
Aktivitas Talikama Kite dan masyarakat saat bermain layang-layang, beberapa waktu lalu. (istimewa/dok.Aji)

Sempat pula ramai dibicarakan perihal seorang anak yang mengalami luka berat, karena terbawa layang-layang yang terbang.

Baca Juga:129 Santri di Bantul Terinfeksi, Kasus COVID-19 DIY Tembus 4.140

Dari pengalaman itu, ada poin lain yang tak bisa diabaikan, yakni kenyataan bahwa layang-layang dua dimensi yang tak dimainkan sesuai SOP memiliki dampak yang tak kalah membahayakan.

Lebih jauh Aji menjelaskan, layang-layang dua dimensi diterbangkan menggunakan senar yang panjang. Sehingga ketika diterbangkan di lapangan luas penuh angin, rawan terputus.

"Kalau terputus, layangan tidak akan jatuh. Layangan itu mengapung dan mengganggu pesawat terbang. Kalau senarnya terlilit di leher bisa membuat leher putus juga," kata Aji.

Melihat masih banyaknya kecelakaan yang disebabkan karena aktivitas bermain layang-layang, maka Talikama Kite Jogja menilai perlu adanya edukasi lebih massif kepada masyarakat dan pehobi layang-layang.

Bahkan, ia mempersilakan masyarakat umum untuk berkunjung ke galeri miliknya, Vatata Gallery and Kite Academy, yang ada di Jalan Hastina (Utara Lippo Plaza Mall), Sleman.

Terutama bagi mereka yang ingin mempelajari keselamatan dalam bermain layang-layang dan pelbagai seluk-beluk layang-layang lainnya.

"Namun demikian aktivitas main layang-layang ini tidak kemudian disetop, dilarang. Tapi didampingi, diedukasi. Pemerintah juga harus turun tangan memberikan pendampingan, menggandeng FASI misalnya," ungkapnya.

Langkah itu perlu diambil, mengingat bermain layangan punya beberapa manfaat positif bagi masyarakat, tak terkecuali untuk anak-anak.

Manfaat itu mulai dari edukasi, rekreasi, ikon seni dan budaya, ekonomi kreatif, olahraga, pariwisata.

"Kalau khusus untuk anak-anak misalnya, layang-layang bisa mendorong mereka belajar mengeksplorasi bentuk dan warna. Berlari-lari dan bergerak saat main layang-layang juga bisa menjadi aktivitas olahraga," ungkap Aji, yang dalam waktu dekat berencana akan mengikuti festival layang-layang di sejumlah negara Timur Tengah itu.

Ia berharap, bermain layang-layang bisa terus dipertahankan di Indonesia, bukan sekadar mengikuti tren semata. Pasalnya, layang-layang juga memiliki sejarah panjang di Indonesia.

Salah satunya ditunjukkan dengan adanya sebuah relief bergambar layang-layang, di Muna, Sulawesi Tenggara.

Dari sejarah yang tercatat di berbagai sumber, China merupakan negara yang kali pertama memperkenalkan layang-layang kepada masyarakat dunia,  tambah Aji. Namun yang Aji yakini, asal mula layang-layang memiliki akar sejarah di Indonesia.

"Ya saya yakin karena setelah mengetahui adanya relief layang-layang di Muna. Terlebih masyarakat Muna punya warisan budaya layang-layang dari daun," ungkapnya.

Sementara itu dikonfirmasi terpisah, Muhammad Ali Sukrajap masih ingat betul layangan yang pernah ia lihat di rumahnya, nun jauh di Muna. Sebuah layangan terbuat dari daun kolope, yang oleh masyarakat di kampung halamannya disebut kaghati.

Walau sudah lama tinggal di Jogja, masih terekam jernih dalam ingatannya, saat si Ali Sukrajap kecil melihat layang-layang daun milik kerabatnya yang berukuran begitu besar. Layang-layang itu punya tinggi sekitar 1,5 meter.

"Itu benar-benar terbuat dari daun. Ya, daun kolope. Daun kolope itu daun tanaman ubi hutan," ujar lelaki yang akrab dipanggil Jon, oleh sejumlah temannya itu.

Layangan itu dimainkan di kebun, di inapkan sampai malam, layangan itu juga bisa mengeluarkan bunyi-bunyian.

"Kalau tidak salah ingat, di sana [Muna] namanya [alat yang menimbulkan bunyi pada layangan] kamama. Nah itu biasanya buat usir babi di kebun," tuturnya.

Sependek ingatannya, layangan daun sebetulnya punya dua varian. Pertama, bentuknya menyerupai layang-layang pada umumnya dan umumnya hanya menggunakan daun sebagai pengganti plastik atau kertas. Layang-layang ini bisa terbang tinggi dalam durasi lama.

Sedangkan varian lainnya, layang-layang tersebut dibuat dari daun yang kerap menempel di pohon sukun.

"Tapi layang-layang yang satu ini tidak bisa terbang tinggi dan lama. Bisa terbang kalo lari atau di pinggir laut. Layang-layang Muna diduga lebih dulu ada, dibandingkan penemuan kertas dari China," ungkap Jon lagi.

Kontributor : Uli Febriarni

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Lifestyle

Terkini

Tampilkan lebih banyak