"Kita masih punya pengumuman di lobi, siapa yang pakai sandal jepit atau baju tertentu tidak akan dilayani. Itu saya kira merefleksikan level kesadaran kolektif kita tentang makna etik dan etiket saja masih problem. Sebenarnya soal sandal jepit, fashion dan sebagainya itu matter of etiket, sesuatu yang dalam halnya standar ngga perlu diurusi terlalu detail," kata pria yang akrab disapa AW tersebut.
Kepala Pusat Studi Pancasila itu menyatakan masih ada banyak hal yang lebih penting dan krusial untuk diurusi. Di antaranya terkait etik akademik meliputi honesty, responsibility dan lain sebagainya.
Selain itu ia juga menyoroti masih adanya semacam jarak atau kasta antara dosen dan mahasiswa. Menurutnya hal itu tidak diperlukan dalam urusannya tentang perkembangan ilmu pengetahuan.
"Padahal perkembangan ilmu pengetahuan ya dosen dan mahasiswa itu equal, saat bahas tema bareng mungkin sambil ngopi tapi juga serius. Jadi iklim akademik budaya itu yang penting. Itu yang masih menjadi kendala di kalangan filsafat itu. Lalu juga kurikulum dan bagaimana mengimprove mutu," terangnya.
Baca Juga:Hakim Tak Pandang Perbuatan Juliari Kasus Serius, Pukat UGM: Itu Tidak Lepas dari Politik
Salah satu mahasiswa Fakultas Filsafat, Josardi mengatakan bahwa Fakultas Filsafat masih kurang dalam urusan merekognisi mahasiswanya. Ia menilai mahasiswa filsafat selama ini masih kerap dikategorikan sebagai sesuatu yang universal saja.
"Jadi jangan menjadikan fakultas hanya semacam sesuatu yang universal, bahwa lulusan filsafat itu menjadi filsuf. Di angkatan saya 2016 mahasiswanya ada yang menjadi pebisnis hingga influencer. Hal-hal itu yang di fakultas filsafat ngga ada. Sementara di fakultas sebelah misalnya Fisipol itu luar biasa cara mempromosikan mahasiswa dan lain-lain," ungkap Josardi.