SuaraJogja.id - Pemda DIY mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) DIY Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat Di Muka Umum Pada Ruang Terbuka. Di antaranya Istana Negara Gedung Agung, Kraton Kasultanan Ngayogyakarta, Kraton Kadipaten Pakualaman, Kotagede, dan kawasan Malioboro.
Aksi unjuk rasa bisa dilakukan minimal 500 meter dari pagar atau titik terluar area cagar budaya tersebut. Selain sebagai cagar budaya, Pemda beralasan, kebijakan tersebut digulirkan sesuai dengan kebijakan Kementerian Pariwisata dan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 63 tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) UGM Muhammad Farhan menilai, aturan tersebut mengakibatkan kondisi rawan kriminalisasi terhadap mahasiswa maupun elemen masyarakat lainnya yang menyampaikan aspirasi di ruang publik.
"Mahasiswa atau elemen lainnya yang menggelar penyampaian aspirasi di lima titik itu akan mudah dikriminalisasi karena dianggap melanggar Pergub," kata Farhan, Sabtu (16/10/2021).
Baca Juga:RUU PDP Masih Deadlock, BEM KM UGM Desak agar Segera Disahkan
Untuk itu, lanjut dia, BEM KM mendesak Pemprov DIY untuk mencabut pergub itu. Sebab Ini menjadi preseden yang buruk bagi demokrasi di DIY.
"Walau dalam survei sudah dijelaskan iklim demokrasi di DIY sudah meningkat lagi, tetapi aturan itu tetap jadi penghalang," ujarnya.
Sebelumnya, Gubernur DIY Sri Sultan HB X menyatakan dalam aturan tersebut telah ditetapkan beberapa kawasan di DIY menjadi obyek vital Nasional di sektor pariwisata melalui keputusan Menteri Pariwisata Republik Indonesia Nomor KM.70/UM.001/MP/2016 Tentang Penetapan Obyek Vital Nasional di Sektor Pariwisata.
"Kan ada, karena satu, [kawasan] heritage ,yang kedua [sesuai] keputusan Menteri Pariwisata, obyek-obyek vital gak boleh [untuk unjuk rasa]'," ungkap Gubernur DIY, Sri Sultan HB X di Kantor DPRD DIY, Jumat (15/01/2021).
Sementara Wakil Ketua DPRD DIY, Huda Tri Yudiana mengungkapkan pihaknya memahami dikeluarkannya pergub tersebut sebagai salah satu untuk melindungi kerusakan cagar budaya dari perusakan. Aturan dibuat agar tidak terjadi aksi anarkis seperti sejumlah titik pada 8 Oktober 2020 lalu.
Baca Juga:Marak Korban Kekerasan Seksual Dikriminalisasi, LPSK Sebut Banyak Polisi Tak Tahu UU Ini
"Saya berpendapat wajar pak Gubernur mengeluarkan Pergub untuk larangan demonstrasi tempat-tempat cagar budaya. Tidak melulu melarang tempat-tempat tertentu demonstasi ya tapi kan penyampaian pendapat di muka umum diatur," paparnya.
Meski sependapat, DPRD DIY tetap mempersilakan masyarakat penyampaian pendapatnya. Termasuk dalam menyampaikan aspirasinya di depan kantor DPRD DIY.
Sebab penyampaian pendapat di muka umum dilindungi Undang-undang. Aspirasi juga sangat dibutuhkan untuk mengkritisi berbagai kebijakan. Masyarakat, termasuk mahasiswa yang berunjukrasa pun bisa melatih kepedulian dan jiwa kepemimpinan melalui penyampaian aspirasi.
"Karena memang tokoh-tokoh pemimpin bangsa ini lahir dari Yogyakarta, karenanya demo-demo yang tertib, kritis memang dibutuhkan sehingga kalau kemudian adek-adek mahasiswa berlatih menyampaikan pendapat, mengasah idealisme mereka melalui demonstasi. Silakan demo di DPRD tapi jangan anarkis," imbuhnya.