Ribuan Wali Murid Keluhkan Ijazah Anaknya Ditahan Sekolah, Gegara Urung Lunasi Sumbangan

AMPPY ajukan somasi terkait adanya sumbangan beraroma pungli di sekolah Jogja tersebut kepada Gubernur DIY dan Dinas Pendidikan

Galih Priatmojo | Muhammad Ilham Baktora
Selasa, 09 November 2021 | 19:05 WIB
Ribuan Wali Murid Keluhkan Ijazah Anaknya Ditahan Sekolah, Gegara Urung Lunasi Sumbangan
Sejumlah perwakilan warga yang tergabung di AMPPY menggelar konferensi pers terkait dugaan pungli dan penahanan ijazah siswa di Kantor LBH Yogyakarta, Selasa (9/11/2021). [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - Ribuan wali murid yang berada di wilayah DI Yogyakarta mengeluh dengan cara sejumlah sekolah menahan ijazah anak-anaknya yang telah lulus sekolah. Hal itu terjadi karena wali murid tidak bisa melunasi administrasi sekolah berupa sumbangan yang diduga menjadi pungutan liar (pungli).

Kondisi tersebut dibeberkan oleh elemen masyarakat yang tergabung di Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY). Pihaknya juga membuat somasi terbuka ke Gubernur DIY untuk segera menindaklanjuti persoalan ijazah siswa yang ditahan.

"Jadi permasalahan ini terjadi di jenjang pendidikan baik dari SMP-SMA/SMK Negeri. Kalau data yang kami himpun sampai 1 November ada sekitar 1.139 ijazah masih tertahan di sekolah, itu baru di Kota Jogja saja. Belum dari Kabupaten Bantul, Sleman, Kulonprogo dan juga Gunungkidul," kata Ketua Sarang Lidi yang bergabung di AMPPY, Yuliani Putri Sunardi saat konferensi pers di Kantor LBH Yogyakarta, Selasa (9/11/2021).

Yuliani menjelaskan bahwa, banyak ijazah SMK dan SMA Negeri yang masih ditahan pihak sekolah. Alasannya pun bermacam-macam, ijazah tidak keluar karena siswa belum membayar administrasi di sekolah dan juga belum membayar sumbangan.

Baca Juga:Jaringan Pengedar Obat Keras Ilegal Antarprovinsi Dibongkar, Polda DIY Amankan 8 Orang

"Kami sudah mendatangi sejumlah sekolah dan juga wali murid yang keberatan dengan pembayaran tersebut. Jadi sejak awal wali murid dimintai sumbangan. Tetapi besaran sumbangan itu ditentukan oleh pihak sekolah, jatuhnya seperti pungli. Karena setelah kami kroscek ke sekolah terkait laporan pertanggungjawaban itu, mereka tidak punya. Alasannya tidak perlu membuat karena sifatnya sumbangan," bebernya.

Besaran uang sumbangan tersebut bermacam-macam. Mulai dari nilai Rp2-Rp5 juta untuk jenjang pendidikan SMA/SMK Negeri sedangkan SMP di bawah Rp1 juta.

"Alasannya untuk peningkatan mutu, tapi indikator peningkatan mutu ini tidak jelas. Karena jika mengikuti kurikulum seharusnya peningkatan mutu sekolah ada di kurikulumnya. Selain itu ada juga untuk pembangunan pintu gerbang, tempat parkir ada juga untuk gapura, seperti di (sekolah wilayah) Sewon itu," kata Yuliani.

Lebih lanjut, Yuliani menduga bahwa pembayaran sumbangan itu seperti dipaksa oleh pihak sekolah kepada siswa. Ia menyebut di beberapa sekolah ada kelompok koordinator kelas dimana mengetahui siswa mana saja yang belum membayar sumbangan tersebut.

"Kalau Komite Sekolah itu kan tidak boleh meminta sumbangan. Jadi pintar-pintarnya sekolah mencari celah, lalu dibentuk koordinator kelas yang mengetahui siswa mana yang belum membayar sumbangan. Jika belum, nanti di-bully oleh teman-temannya. Saya juga konfirmasi apa benar ada aturan koordinator kelas itu. Boleh tidak dibuat kelompok itu?, jelas tidak ada aturannya kan," ujar Yuliani.

Baca Juga:Penambahan Kasus Covid-19 di DIY Tertinggi Se-Indonesia, Haryadi Suyuti Tak Menyangka

Ia menambahkan bahwa pungutan sumbangan itu melanggar peraturan perundang-undangan. Menurut dia satuan pendidikan yang meminta sumbangan ke siswa yang tidak mampu secara ekonomi sangat dilarang. Praktek tersebut masih berjalan walau Dinas Pendidikan sudah mengeluarkan Surat Edaran yang mengatur larangan tersebut.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak