SuaraJogja.id - Proyek food estate atau lumbung pangan nasional disebut-sebut gagal. Sebab proyek yang dimulai sejak era Presiden Soeharto hingga berlanjut ke era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan kini dilanjutkan Presiden Joko Widodo masuk salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 yang mengacu pada Perpres Nomor 108 Tahun 2022 belum juga terealisasi.
Pengembangan konsep pangan yang mengintegrasi pertanian, perkebunan dan peternakan di suatu kawasan ini terancam gagal akibat perubahan iklim. Indonesia semakin kesulitan untuk bisa memiliki lumbung pangan nasional.
"Ancaman perubahan iklim yang dimungkinkan berdampak terhadap lumbung pangan menjadi ketakutan yang serius. Food estate dianggap gagal," ungka pakar lingkungan, Nazir Foead dalam Diskusi Menuju Indonesia Emas 2045 di Yogyakarta, Jumat (24/11/2023) malam.
Tak hanya perubahan iklim, menurut Direktur Sustainitiate tersebut, program pemerintah melalui kolaborasi sejumlah kementerian yang membuka lahan gambut untuk ditanami bahan makanan itu pun mendapat kecaman berbagai pihak. Bahkan partai politik beramai-ramai menyebut program itu mangkrak dan tidak mencapai target.
Baca Juga:UMP DIY Naik, Begini Tanggapan Warga Jogja
Padahal ada banyak lahan terlantar yang bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian melalui prorgam Tanah Obyek Reforma Agraria (Tora). Namun dalam pengembangannya butuh keterlibatan petani setempat.
"Ada banyak lahan terlantar yang bisa digunakan untuk pertanian. Tentu harus melibatkan petani setempat dan membutuhkan kemitraan dari dunia usaha. Mereka (petani-red) hanya butuh dibantu izin tanah lewat program Tora, itu bisa nambah ketahanan pangan," paparnya.
Nazir menambahkan, isu food estate ini perubahan iklim pun mesti jadi prioritas dalam pembangunan kedepan. Termasuk jadi visi dan misi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Pemilu 2024 mendatang. Mereka mesti membawa program itu lebih serius agar bisa terealisasi.
Para pemimpin kedepan diharapkan juga memerumuskan pembuatan peta jalan untuk mengatasi berbagai kemungkinan bencana hidrometeorologi akibat perubahan iklim. Apalagi saat ini sejumlah daerah sudah mengalami dampak bencana hidrometeorologi seperti banjir, erosi dan longsor atau kekeringan.
"Peta jalan ini penting untuk menghadapi perubahan iklim. Masing-masing sebenarnya punya kok [peta jalan], tapi sebaik apa ya kita belum tahu," tandasnya.
Baca Juga:Kurangi Dampak Perubahan Iklim, Muhammadiyah Climate Center Diresmikan
Sementara Direktur Pengabdian Kepada Masyarakat UGM Rustamaji, mengungkapkan pemerintah sebenarnya bisa mencontoh DIY dalam mengatasi permasalahan food estate di Indonesia. DIY saat ini mempunyai program Lumbung Mataram yang memanfaatkan tanah berkarakter khusus untuk dikelola warga lokal.
"Lumbung mataram itu, saya kira itu hal yang baik [untuk dicontoh] karena berbasis lokal," ujarnya.
Rustamaji menambahkan, Lumbung Mataram merupakan program ketahanan pangan berbasis lokal. Program ini mengedukasi petani secara turun temurun dalam pengelolaan lahan pertanian. Meski diakui permasalahan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk mengolah tanah tersebut masih belum optimal.
"Biasanya SDM-nya belum siap. Tentu yang paling relevan dimulai skala lokal atau jika tidak dengan transmigrasi, tapi legalitas tanah jadi masalah kalau transmigrasi," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi