SuaraJogja.id - Badan Legislatif (Baleg) DPR RI hari ini mendadak menggelar rapat Revisi Undang-Undang Pilkada sehari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (20/8/2024) kemarin memutuskan soal partai politik yang tanpa punya kursi di DPRD bisa mengusung calon kepala daerah.
Pengajar Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Allan Fatchan Gani Wardhana mengatakan sebenarnya rencana revisi UU Pilkada sudah digaungkan sejak tahun lalu. Namun memang putusan MK kemarin menjadi momentum untuk kembali melanjutkan rencana revisi itu.
"Ya hanya momentum, karena kalau revisi undang-undang Pilkada sudah sejak kemarin tahun kemarin sudah berproses kebetulan ada momentum ini [putusan MK]. Jadi mungkin substansi ini bisa masuk sekalian," kata Allan saat dihubungi, Rabu (21/8/2024).
Allan tak menampik ada upaya untuk menegasi Putusan MK No. 60 tersebut. Padahal, revisi UU Pilkada tersebut tetap bisa dilakukan dengan tinggal menindaklanjuti putusan MK terutama soal ambang batas itu.
Baca Juga:PSHK FH UII Sebut Pilkada 2024 Lebih Demokratis Usai MK Beri 'Angin Segar', Tapi...
"Menurut saya difollow up ditindaklanjuti saja apa yang diputuskan oleh MK dalam putusan 60 tinggal dimasukkan dalam undang-undang tanpa mengubah atau mengotak-atik lagi susunan atau frasa yang berkaitan dengan ambang batas," ujarnya.
Menurutnya tidak perlu ada manuver-manuver dari para pembuat undang-undang, dalam hal ini untuk mengabaikan putusan MK No.60 itu apapun pertimbangannya. Entah akan diubah kembali aturan ambang batasnya maupun waktu pemberlakukannya.
"Saya kira tidak perlu bermanuver sampai situ karena memang revisi undang-undang itu salah satunya untuk menindaklanjuti putusan MK. Jadi apa yang diputus oleh MK berkaitan dengan ambang batas ya sudah tinggal di follow up saja tanpa diubah-ubah," tuturnya.
Jika kemudian Putusan MK No. 60 itu tidak diakomodir atau bahkan diubah kembali pemaknaannya, kata Allan, potensi kekacauan itu semakin besar. Baik dalam proses pencalonan hingga hasil akhir saat Pilkada nanti.
"Kalau misalkan ini tidak diakomodir di dalam Undang-undang Pilkada atau berbeda maknanya dengan putusan MK, saya khawatir itu nanti akan menjadi chaos dan menimbulkan gugatan-gugatan dalam proses dan dalam hasilnya nanti untuk menilai keabsahan suatu calon," tegasnya.
Baca Juga:Ganjar Bicara Peluang PDIP di Pilkada 2024, Singgung Pencatutan KTP hingga Potensi Usung Bukan Kader
Revisi UU Pilkada ini dikhawatirkan hanya digunakan untuk memuluskan kepentingan politik tertentu serta upaya membangkang dari putusan MK.
"Nah ini yang saya kira tidak boleh ada manuver itu, harus dicegah ya. Kalau pun itu ternyata terjadi manuver itu dan berbeda dengan putusan MK, saya khawatir tadi, dalam pencalonan nanti dalam prosesnya bisa ada melahirkan sengketa proses maupun dalam hasil bisa diperkarakan pasca pilkada," ujarnya.
Diketahui MK telah memutus dua perkara yakni yang pertama, syarat pencalonan kepala daerah dari jalur partai politik, terkait ambang batas (threshold) dalam Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024. Serta yang kedua, pemaknaan syarat usia pencalonan kepala daerah, yakni Putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024.