Soroti Maraknya Kasus Kekerasan Seksual Dokter Spesialis, RSA UGM Perkuat Etika dan Pengawasan

Adapun, kata Darwito, RSA UGM menerapkan sistem pembelajaran berjenjang dengan pengawasan ketat yang dilakukan oleh dokter penanggung jawab pasien (DPJP).

Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Sabtu, 19 April 2025 | 11:53 WIB
Soroti Maraknya Kasus Kekerasan Seksual Dokter Spesialis, RSA UGM Perkuat Etika dan Pengawasan
Ilustrasi kekerasan seksual [freepik.com]

Ia menegaskan, RSA UGM berkomitmen menjaga tiga koridor penting dalam pendidikan kedokteran di antaranya, etika, norma, dan hukum. Semua residen diharapkan tumbuh tidak hanya sebagai dokter ahli, tetapi juga pribadi yang bermartabat bagi seluruh masyarakat.

Dengan berbagai pendekatan preventif dan sistem pengawasan berlapis, RSA UGM berharap bisa menciptakan ruang pendidikan medis yang aman dan berintegritas. Sehingga dapat terus menjaga kepercayaan masyarakat terhadap dunia kesehatan.

"Etika dan norma kita jaga lewat SOP dan teladan. Kalau hukum ya kita serahkan pada aparat. Yang jelas, pendidikan harus menanamkan nilai-nilai itu sejak awal," pungkasnya.

Penyalahgunaan Kekuasaan

Baca Juga:UGM Bentuk Tim Periksa Pelanggar Disiplin Kepegawaian Gubes Farmasi Terkait Kasus Kekerasan Seksual

Terpisah, aktivis dari Jakarta Feminist, Anindya Restuviani, menilai dua kasus kekerasan seksual oleh dokter sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Dalam hal ini, pelaku memanipulasi profesinya demi kepentingan pribadi.

"Ini adalah abuse of power," kata Vivi, sapaan akrab Anindya, kepada Suara.com, Kamis (17/4/2025).

"Kita mau bilang, 'kayaknya prosedurnya enggak gini deh', tapi nanti dokternya ngeles, pakai alasan-alasan medis."

Bagi Vivi, situasi ini tak bisa dianggap sepele. Kekerasan seksual yang dilakukan tenaga kesehatan bisa membuat banyak perempuan semakin takut mengakses layanan medis.

Terutama layanan terkait kesehatan reproduksi yang sejak awal kerap disertai stigma.

Baca Juga:Guru Besar UGM Diduga Lecehkan Mahasiswa, Jabatan Dicopot, Status Kepegawaian Terancam

"Enggak sedikit perempuan yang dipermalukan secara verbal waktu periksa. Komentar-komentar yang merendahkan itu nyata," ujar Vivi.

"Dan kasus kayak gini bikin perempuan mikir dua kali sebelum datang ke dokter."

Lebih jauh, kata Vivi, ini bukan cuma soal trauma korban. Tapi juga soal hilangnya hak perempuan untuk mendapatkan layanan kesehatan yang aman dan manusiawi.

Bahkan, menurutnya, pelaku laki-laki seperti dalam kasus Priguna dan Syafril memunculkan stereotip baru yang semakin memberatkan perempuan.

"Bebannya panjang. Enggak cuma buat korban langsung, tapi juga perempuan lain yang jadi takut ke dokter," ucapnya.

Vivi menyebut dua kasus itu bukan kejadian baru. Ia percaya ini hanya puncak dari fenomena gunung es tanda bahwa ruang publik, termasuk fasilitas kesehatan, belum benar-benar aman bagi perempuan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak