SuaraJogja.id - Matahari masih malu-malu untuk memancarkan sinarnya pagi itu. Namun Sutrisno, sudah mondar-mandir mempersiapkan 'alat tempur'-nya.
Bukan senjata api atau pedang nan tajam senjata itu, melainkan hanya sebuah pisau kecil dengan piring kecil yang sudah terisi tanaman obat, baskom plastik, timbangan hingga kompor kecil lengkap dengan gas yang sudah terpasang.
Dengan memakai peci serta kacamata sebagai alat bantunya agar bisa melihat lebih jelas, pria yang memasuki usia 61 tahun ini mulai meraih beberapa peralatan alat tempurnya tadi. Di teras rumah, tangannya tampak lincah dan cekatan mengupas beberapa kulit kunyit yang telah ia persiapkan sendiri.
Sesepuh peracik jamu yang ada di Dusun Kiringan merupakan salah satu pelopor terbentuknya Dusun Kiringan sebagai Desa Wisata di Bantul. Sudah banyak ide-ide yang lahir dan diaplikasikan oleh warga Dusun Kiringan dari hobinya membuat racikan jamu tersebut. Hingga sekarang berbagai inovasi masih terus ia kembangan agar racikan jamunya dapat dinikmati oleh lebih banyak orang.
Baca Juga:Beredar Pesan Rantai Operasi Masker Denda Rp250 Ribu, Ditlantas DIY: Hoax
Pria kelahiran Bantul, 12 Juli 1959 silam ini mengaku ketertarikannya dengan jejamuan sudah muncul sejak kecil. Berawal dari kondisi yang sering sakit-sakitan, memaksa Sutrisno belia harus keluar masuk rumah sakit terdekat guna melakukan perawatan. Hingga pada satu titik ia berkeyakinan untuk bisa bangkit dan ditambah dapat menolong orang lain juga.
Baru saat mengenyam pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) tepatnya di SMP Negeri 1 Imogiri, Sutrisno menemukan buku. Ia sendiri bahkan tidak mengetahui buku itu milik siapa. Namun yang jelas buku itu berkaitan dengan pengobatan tradisional dengan menggunakan jamu. Di buku itu tertulis lengkap racikan bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat sebuah jamu tergantung dengan khasiat tanaman yang nantinya digunakan.
"Awalnya saya tidak paham bahan-bahan yang akan digunakan, jadi saya minta tolong bapak yang kebetulan juga sebagai mantri pengarian untuk mencarikan bahannya. Baru nanti saya yang akan meracik bahan-bahan itu," ujar pria yang sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) jurusan Teknik Geologi itu kepada SuaraJogja.id, beberapa waktu lalu.
Meskipun kegemarannya meracik jamu sempat berhenti saat ia mengenyam pendidikan di bangku perkuliahan, namun setelah menikah dan mengetahui istrinya mengidap penyakit gula, Sutrisno kembali membuka buku racikan jamunya. Alhasil perlahan kondisi sang istri mulai mengalami peningkatan karena meminum racikan jamu buatannya. Tidak lama setelah itu teman-teman sang istri yang mengidap penyakit serupa dan bahkan penyakit lainnya mulai mengetahui racikan jamu Sutrisno. Hingga akhirnya banyak pesanan jamu yang datang kepadanya.
"Lalu saya berpikir, kenapa tidak buatkan saja ramuannya sekaligus mendekatkan cita-cita saya untuk menolong orang banyak," ungkapnya.
Baca Juga:DIY Terbitkan Pergub Protokol Kesehatan, Izin Usaha Dicabut jika Melanggar
Sutrisno mengatakan sebeluk masuk ke Dusun Kiringan pun ia sudah laris manis menjual jamu-jamunya. Ia mengaku sudah mengetahui bahwa warga Dusun Kiriangan juga telah lama berjualan jamu. Dengan bekal otodidak yang dilakukan di masa SMP, ia hanya perlu untuk menyesuaikan diri dengan racikan jamu yang sduah ada terlebih dahulu di desa itu.
Barulah puncaknya datang setelah peristiwa gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006, saat itu Dusun Kiringan khususnya mendapat pelatihan yang diselenggarakan oleh CD Bethesda. Dari situ hampir semua pihak menjadi lebih serius dalam meracik ramuan jamunya.
Inovasi Racikan Jamu
Diceritakan Sutrisno, di Dusun Kiringan tersebut ia juga menjadi salah satu bagian yang mengurus terkait dengan inovasi yang akan dimunculkan di dusun tersebut. Jika sebelumnya Dusun Kiringan terkenal dengan jamu segar atau jamu gendong, Sutrisno menemukan inovasi lain dengan membuat jamu dalam bentuk sirup.
Selain dari segi masa kedaluwarsa yang lebih lama, jamu yang dibuat dalam bentuk sirup ini lebih praktis untuk dibawa kemana saja dan dihidangkan di mana saja. Tidak berhenti di situ, Sutrisno kembali membuat gebarakan baru dengan membuat jamu instan yang bisa bertahan lebih awet lagi.
"Sebenarnya bisa tahan sampai setahun tapi kami jadikan hanya delapan bulan karena empat bulan sisanya dijadikan untuk kontrol mutu," ungkapnya.