SuaraJogja.id - Orang bilang, tak ada kiri dan kanan di Jogja. Menurut review dari para perantau, hanya ada utara, selatan, barat, dan timur alias mata angin di kota pelajar ini.
Suatu kali seorang pendatang yang tinggal di Jogja untuk bekerja tersesat saat hendak kembali ke kosnya dari Terminal Giwangan. Sebabnya, salah satu ruas jalan yang ditunjukkan Waze tak bisa dilewati karena ada pekerjaan dari warga setempat.
Dengan sepeda motornya, ia tiba-tiba merasa asing sudah berada di tengah-tengah jalan kampung yang lumayan sempit.
Putus asa dan tahu diri sebagai orang yang buta arah, akhirnya dia hentikan kendaraannya itu di dekat kursi panjang tempat bapak-bapak nongkrong.
Baca Juga:Anak Kecil Asyik Pantau Merapi, Warganet Sindir Penampakan Gunung Pangrango
"Nyuwun sewu [permisi]. Niki [ini] arah ke kota teng pundi nggih [ke mana ya], Pak? Tadi lewat sana enggak bisa, ditutup," tanya si Mbak, pakai bahasa Jawa krama inggil sebisanya.
Dijawablah oleh salah satu pria berkumis tebal yang duduk di situ. Tahu si penanya kagok berbahasa Jawa, bapak berpakaian sarung dan kaus singlet itu mengatakan, "Oh. Ini lurus saja ke selatan, terus ke timur sudah ring road. Nanti agak muter aja."
Membingungkan memang. Sudah buta arah, tak peka pula dengan arah mata angin. Namun beruntung, berbekal intuisi dan sedikit sok tahu, orang tersesat itu akhirnya selamat dan bisa menuliskan pengalamannya ini.
TONTON VIDEONYA DI SINI.
Bukan hanya penulis, di media sosial banyak pengalaman serupa yang dirasakan para perantau di Jogja. Sampai-sampai, penggunaan mata angin sebagai penunjuk arah kerap kali diidentikkan dengan orang Jogja.
Baca Juga:Pernah Jadi Rajanya Ayam Goreng, Kondisi Yogya Chicken Bikin Warganet Sedih
Salah satunya diperlihatkan di video unggahan akun Twitter @Torriosh pertengahan 2020 lalu. Dia memasukkan "kompas berjalan" sebagai salah satu ciri khas orang Jogja.
Bukan cuma itu, deretan pengalaman seperti itu bakal muncul di layar gawai begitu diketikkan kata kunci "mata angin Jogja" di Google maupun media sosial.
Ada yang bilang, para ahli navigasi di Jogja ini terbiasa pakai utara (lor), selatan (kidul), barat (kulon), dan timur (wetan) karena masih berjiwa pelaut.
Di sisi lain, disebut-sebut bahwa kebiasaan ini bukan cuma eksis di Jogja, melainkan diterapkan hampir semua orang Jawa, terutama mereka yang tinggal di desa; tak ada alasan tertentu, hanya kebiasaan turun temurun.
Namun, ada satu alasan yang paling populer: koneksi kuat orang Jogja dengan Gunung Merapi, termasuk posisinya secara fisik.
Berada di perbatasan antara Jawa Tengah dan DIY, penampakan Gunung Merapi, yang begitu gagah itu, bisa dilihat dari hampir seluruh sudut di Jogja.
Inilah yang kemudian dijadikan patokan orang Jogja untuk menentukan navigasi. Sekalinya melihat ada Gunung Merapi, mereka langsung tahu di situlah arah utara atau lor.
Cara ini pun sering dimasukkan ke daftar tips mencari tahu arah mata angin saat berada di Jogja. Salah satunya pernah dibagikan akun selebtwit Jogja @PenjahatGunung.
BACA UTASNYA DI SINI.
Benar saja, posisi Gunung Merapi, yang belum lama ini ditingkatkan statusnya menjadi Siaga atau Level III, menjadi tips pertama yang dituliskan Mas Agung.
Yang terpenting untuk diingat, kalau kita menghadap utara, belakang kita adalah selatan, sedangkan tangan kiri barat, dan kanan timur. Tinggal diputar-putar saja kalau patokan yang didapat bukan utara. Berikut selengkapnya:
1. Posisi Gunung Merapi
Menurut tips dari Mas Agung, saat di depan mata terlihat Gunung Merapi, sudah bisa dipastikan di depan mata pula adalah arah utara.
2. Arah matahari terbit
Sudah umum diketahui, matahari terbit dari timur dan terbenam di barat, jadi kalau mata makin picing di pagi hari karena sorotan matahari dari depan, berarti saat itu kita menghadap ke timur, belakang kita barat, kiri utara, dan kanan selatan.
3. Posisi bayangan
Masih menggunakan kontribusi matahari, posisi bayangan, kata Mas Agung, juga bisa dipakai untuk mencari tahu arah mata angin saat tak ada kompas.
Posisi bayangan sudah pasti berlawanan dari matahari, dengan objek yang direfleksikan sebagai pembatasnya. Maka dari itu, misalnya di pagi menuju siang hari, saat bayangan kita berada di depan, berarti matahari ada di belakang kita. Dengan kata lain, kita sedang menghadap ke barat dan membelakangi arah matahari terbit -- timur.
4. Arah kiblat di masjid
Kiblat salat adalah barat. Gampang saja saat berada di masjid, tinggal lihat ke mana arah kiblat atau barat, lalu tinggal menentukan tiga arah mata angin lainnya.
5. Jalan-jalan besar di Jogja
Kebanyakan jalan besar di Jogja membujur lurus dari utara ke selatan atau dari barat ke timur. Ini daftar yang sudah dirangkum Mas Agung:
Jalan utara-selatan: Ring Road Barat, Jl Kabupaten, Jl Magelang, Jl Monjali, Jl Kaliurang, Jl Gejayan, Jl Seturan, Ring Road Timur, Jl Gedong Kuning, Jl Veteran, Malioboro, Jl Tamansiswa, Jl HOS Cokroaminoto, Jl Imogiri, Jl Bantul, Jl Parangtritis, dll.
Jalan barat-timur: Ring Road Utara, Jl Selokan Mataram, Jl Colombo, Jl Jogja-Solo sampai tembus Jl Godean, Jl Kusumanegara sampai tembus Jl Wates, Jl Wonosari, Jl MT Haryono (Jokteng kulon) sampai tembus Jl Perintis kemerdekaan (XT Square), dan Ring Road Selatan.
6. Elevasi jalan
Menurut Mas Agung, "Kalo kamu ngrasa jalan yang kamu lalui semakin menurun (walaupun nurunnya dikit) berarti kamu sedang menuju kearah selatan. Karena di sisi utara ada Gunung Merapi, dan di selatan ada Pantai Parangtritis, itulah kenapa sisi utara lebih tinggi."
Namun, kata dia, cara ini enggak selalu berlaku di seluruh Jogja karena bentang alam di pinggir kota berbeda-beda.
7. Rel kereta Selokan Mataram
Cara terakhir untuk menguasai navigasi saat berada di Jogja adalah dengan berpatokan pada rel kereta Selokan Mataram.
"Yogyakarta dibelah oleh rel kereta dan selokan mataram yang arahnya barat-timur. Jadi misal ketika kita sedang menyebrangi rel kereta, berarti kita sedang menuju ke arah utara/selatan," jelas Mas Agung.