SuaraJogja.id - Wali murid SMAN 1 Wates yang mengaku mendapatkan penyekapan dan intimidasi karena protes pengadaan seragam di sekolah anaknya, mengaku telah menyampaikan yang ia alami ke Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Kala dihubungi wartawan, Agung menyatakan menyampaikan situasi yang ia alami secara informal, bukan lewat surat resmi, melainkan lewat pesan singkat WhatsApp.
Agung mengaku mendapat nomor kontak ponsel Listyo dari pihak Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY). Kemudian, ia mencoba mengirimkan pesan kepada orang nomor satu di Polri itu.
"Saya sudah menghubungi untuk minta bantuan. Saya sudah memberikan kronologi. Tetapi sampai sekarang belum ada balasan. Mudah-mudahan beliau peduli dengan permasalahan saya di Kulon Progo ini," terangnya, Kamis (6/10/2022).
Baca Juga:Wali Murid SMAN 1 Wates Masih Mengungsi Akibat Dugaan Intimidasi, LBH Jogja Lapor ke LPSK
Lewat sambungan telepon, Agung juga menjelaskan kembali mengenai proses penyusunan berita acara pemeriksaan (BAP) di Mapolda DIY, atas kasus yang membelitnya.
"Kemarin [Rabu (5/10/2022)] sudah di-BAP lengkap. Yang pertama kan masih BAP sederhana, yang kemarin sudah BAP lengkap," ungkapnya.
Saat menjalani BAP, Agung didampingi oleh tim dari LBH Yogyakarta dan Sarang Lidi.
Jalani BAP, Agung Sampaikan Lokasi Pertemuan dan Jumlah Wali Siswa yang Hadir
Kala ditanyai proses BAP, Agung menyebut ada dua hal yang menjadi pertanyaan dan memunculkan keganjilan dari pertemuan itu. Pertama, mengenai lokasi pertemuan yang berlangsung di kantor Satuan Polisi Pamong Praja serta jumlah peserta yang hadir.
Menurut Agung, tempat netral untuk melakukan pertemuan terkait pengadaan seragam sekolah bisa memilih warung atau rumah makan di Kulon Progo. Bahkan, bila pilihan itu berujung pada timbulnya biaya tambahan, Agung siap menanggungnya.
"Kalau katanya tempat netral, kok di Sat Pol PP?" ucapnya.
"Kemudian, katanya mau mendatangkan semua para yang terkait. Yang terkait dengan orang tua itu kan ada bersepuluh [orang] lebih. Tapi kok cuma saya sendiri yang diundang?" kata Agung lagi.
Ia menjelaskan, total hanya ada delapan orang dalam ruang pertemuan dan dia adalah satu-satunya yang merupakan wali siswa SMA N 1 Wates.
Untuk pembaca ketahui, tak jauh dari SMA N 1 Wates juga terdapat gedung Balai Dikmen Kulon Progo, yang jaraknya tidak genap mencapai 1 Kilometer. Gedung yang berdiri di Jln Bhayangkara itu, nyatanya juga tidak dijadikan pilihan untuk melangsungkan pertemuan.
"Ada Balai Dikmen itu. Dekat dengan SMA N 1 Wates. Ya itu, kenapa mereka tidak di Balai Dikmen? Katanya itu tidak netral, kata mereka," sebutnya.
Agung Tantang 'Sumpah Mubahalah'
Sekilas informasi--dalam kepercayaan umat muslim--sumpah mubahalah adalah sumpah yang diucapkan oleh dua orang atau dua kelompok yang berselisih paham, tetapi masing-masing merasa benar.
Agung menyatakan, dirinya berani melakukan sumpah itu, demi membuktikan bahwa keterangan yang selama ini ia berikan tentang apa yang terjadi padanya, bukanlah kebohongan. Termasuk untuk membantah apa yang disampaikan oleh sejumlah pihak, bahwa tidak ada penyekapan dan tekanan dalam pertemuan saat itu. Melainkan hanyalah pertemuan yang diwarnai kalimat-kalimat berintonasi tinggi.
"Kalau saya disuruh bersumpah mubahalah, saya akan bersumpah demi Allah bahwa apa yang saya alami itu adalah benar-benar sebuah intimidasi dan ancaman. Ada kata-kata 'menghabisi', ada penyekapan dengan kata-kata saya tidak boleh keluar," ucapnya.
"Sumpah mubahalah saya ini, apabila saya bohong maka Allah akan melaknat saya di dunia dan di akhirat. Dan jika saya berbohong dan saya berdusta, maka demi Allah Islam saya telah gugur dan murtadlah saya hari ini. Demikian sumpah saya. Dan sebaliknya, berani tidak mereka bersumpah seperti itu?," kata dia.
Mengurungkan Niat Lapor LPSK
Agung menyatakan mengurungkan niat untuk meminta perlindungan kepada lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK), karena orang yang mengejar-ngejar dirinya sudah menemuinya, meminta maaf dan tidak lagi mencari keberadaan Agung.
Kini Agung mengungkap, ia dan keluarga berada dalam situasi aman, sudah kembali tinggal di kediaman mereka sendiri. Ia membenarkan dirinya pernah mengungsi, namun tetap bersikap waspada apapun yang terjadi.
"Saya tetap waspada. Anak saya juga belum saya sekolahkan, masih menjalani sekolah daring. Sehingga saya masih agak takut juga. Masih jaga-jaga juga," ucapnya.
Tidak Melaporkan Soal Dugaan Mark Up
Dalam sambungan panggilan ponsel yang sama itu, Agung menyatakan sudah mengetahui kabar bahwa Polda DIY mulai membidik dugaan tindak pidana korupsi atas terjadinya mark up atau penggelembungan dana pengadaan seragam yang dilakukan sekolah. Namun ia mengaku bukan dirinya yang melaporkan dugaan korupsi itu ke kepolisian.
"Demi Allah saya tidak melaporkan yang kasus korupsi itu juga," kata dia, dengan kata lain Agung hanya melaporkan soal intimidasi dan penyekapan yang dialaminya.
Koordinator Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY) Yuliani menuturkan, ia memperkirakan dugaan korupsi ini diusut oleh Polda DIY karena banyaknya jumlah korban. Sehingga kepolisian bisa memproses dugaan itu tanpa delik aduan.
"Korbannya kan [se-] DIY masalah seragam itu, vendornya hanya satu. Kan kurang ajar itu," ucapnya.
Langkah yang diambil oleh Polda DIY menjadi bentuk penindakan atas akumulasi semua sekolah yang selama ini melanggar aturan pengadaan seragam tapi tidak pernah diberi sanksi. Kalau terus dibiarkan, akan terus seperti ini dan selalu ada tiap tahun ajaran berganti.
"Terus nanti ujung-ujungnya ada punglinya juga. Punglinya tidak bisa menyelesaikan, sampai anak lulus, ijazahnya ditahan," jelasnya.
Kontributor : Uli Febriarni