Jatuhnya nilai Bitcoin dan saham teknologi di Amerika Serikat yang turut anjlok dengan portofolio merah di berbagai tempat tak luputu dari sorotan.
Fenomena ini, menurut dia, menunjukkan bahwa pola-pola lama tidak lagi bisa dijadikan patokan mutlak.
Meski penuh ketidakpastian, ia berpendapat investasi tetap penting untuk menjaga daya beli dalam jangka panjang. Jika uang hanya disimpan untuk konsumsi, nilainya akan terus tergerus oleh inflasi.
"Satu-satunya cara membangun 'sekoci' masa depan ya tetap lewat investasi," tuturnya.
Baca Juga:Sleman Pastikan Tak Ada ASN Bolos, Tapi Keterlambatan Tetap Jadi Sorotan
Mengingat investasi adalah produk jangka panjang dalam hitungan tahun, ia memberikan ramalan tren pasar setidaknya untuk tiga bulan ke depan.
Berdasarkan analisa pengamatan, Wayan tidak melihat adanya sinyal positif yang kuat, bahkan cenderung mengarah pada pesimisme.
Tidak ada satupun insentif yang menunjukkan adanya optimisme. Jika sentimen tersebut tidak berhenti, kondisi ini membahayakan. Dan tentunya banyak masyarakat yang terkena imbas.
Oleh sebab itu, ia mendorong pemerintah melakukan pengkajian fundamental dan pemetaan ulang terhadap sektor ekspor nasional yang masih bertumpu pada komoditas seperti batubara dan nikel.
"Kita perlu segera mencari celah baru di tengah tekanan global," pesannya.
Baca Juga:Libur Lebaran di Sleman, Kunjungan Wisatawan Melonjak Drastis, Candi Prambanan Jadi Primadona
Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Iman Rachman mengatakan, volatilitas IHSG lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal, khususnya kebijakan ekonomi Amerika Serikat.
Menurutnya, kebijakan tarif perdagangan yang diterapkan AS terhadap negara mitra dagangnya telah memberikan dampak signifikan terhadap pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Sejak pekan lalu, kita melihat adanya tekanan di pasar akibat berbagai isu global. Investor masih cenderung wait and see terhadap kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintahan Donald Trump," katanya, dikutip dari Antara.