SuaraJogja.id - Tempat Pembuangan Akhir (TPA) atau Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta tengah menjadi polemik.
TPA Piyungan disebut sudah tidak mungkin menerima sampah baru. Tempat pembuangan sampah terbesar di Jogja ini pun ditutup sampai September 2023.
Akibat langsung dari tutupnya TPA Piyungan ini adalah warga bingung mau ke mana lagi membuang sampahnya. Jogja darurat sampah pun menggema di media sosial.
Sebagai informasi, dalam artikel ini akan membahas tentang sejarah TPA Piyungan, konflik, serta rekomendasi apa saja solusi yang bisa menjadi alternatif untuk mengatasi permasalahan sampah ini.
Baca Juga:Puncak Harlah PKB ke-25 di Stadion Manahan Tinggalkan Masalah untuk Warga Solo
![Pekerja memindahkan tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, Bantul, DI Yogyakarta, Kamis (12/5/2022). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah](https://media.suara.com/pictures/653x366/2022/05/12/55433-tpst-piyungan.jpg)
Sejarah TPA/TPST Piyungan
Dikutip dari laman resmi Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Daerah Istimewa Yogyakarta, berikut sejarah TPST Piyungan.
Pemrosesan akhir sampah di Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman telah dilakukan bersama dalam Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Regional yang terletak di Dusun Ngablak dan Watugender, Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, dan baiasa disebut TPA Piyungan.
TPA Piyungan atau Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, dibangun pada tahun 1994-1996 dan mulai beroperasi sejak tahun 1996 dan pengelolaannya dilakukan oleh Pemda DIY dan mulai Tahun 2000 dikelola oleh Sekretariat Bersama (Sekber) Kartamantul berdasarkan Keputusan Gubernur No. 18. Tahun 2000.
Sejak 1 Januari 2015 TPA Piyungan diambil alih oleh Balai Pengelolaan Infrastruktur Sanitasi dan air Minum, dibawah Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral sesuai dengan Peraturan Gubernur DIY Nomor 99 Tahun 2014. Mulai Tahun 2019 Pengelolaan TPA Piyungan dialihkan pada Balai Pengelolaan Sampah, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan DIY.
Baca Juga:Masih Urung Bocorkan Kriteria Cawapres Pendampingnya, Anies Baswedan bakal Buat Publik Terkejut?
Konflik
![Pekerja memindahkan tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, Bantul, DI Yogyakarta, Kamis (12/5/2022). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah](https://media.suara.com/pictures/653x366/2022/05/12/74992-tpst-piyungan.jpg)
Pada 2022, warga di sekitar TPST Piyungan memberikan beberapa tuntutan kepada Pemda DIY, antara lain mengenai air lindi (air sampah) yang mencemari lingkungan, dan tuntutan agar TPST Piyungan ditutup permanen.
Dikutip dari YourSay, Persoalan TPST Piyungan sebenarnya menjadi suatu dilema. Sisi lain keberadaan TPST Piyungan sangat penting bagi pengelolaan sampah khususnya bagi Kota Yogyakarta, Kabupaten, Sleman, serta Kabupaten Bantul. Namun, sisi lain dari keberadaan TPST Piyungan adalah timbulnya “efek samping” yang timbul karena keberadaan tempat pembuangan sampah tersebut.
TPST Piyungan menjadi penampung sampah bagi Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, serta kabupaten Bantul. Dalam keadaaan blokade atau penutupan warga terhadap TPST Piyungan, maka aktivitas pengelolaan sampah menjadi terganggu, bahkan bisa dibilang lumpuh. TPST Piyungan juga menimbulkan masalah lain. Dalam hal ini masalah mengenai pencemaran lingkungan, banyak warga yang mengeluhkan limbah dari TPST Piyungan mencemari sumur milik warga.
Rekomendasi
![Warga mencari barang bekas di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, Bantul, DI Yogyakarta, Kamis (12/5/2022). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah](https://media.suara.com/pictures/653x366/2022/05/12/60512-tpst-piyungan.jpg)
Dosen UII, Dr. Ir. Kasam. M.T menyoroti masalah sampah di TPA Piyungan.
“Saat ini masalah yang sangat dirasakan yaitu jumlah timbunan sampah makin meningkat, biaya pengelolaan meningkat, dan kebutuhan lahan untuk TPA semakin terbatas,” kata Dr. Ir. Kasam. M.T saat menjadi pembicara dalam webinar Prodi Teknik Lingkungan UII, Sabtu (10/9/2022) silam.
Pengadaan lahan pengganti untuk TPA selalu menghadapi penolakan dan keluhan dari masyarakat sekitar. Oleh karena itu, hierarki penanganan yang baik dimulai dari pencegahan, yaitu dari peran masyarakat, minimasi, reuse, recycling, energy recovery dan yang terakhir adalah pembuangan akhir dengan menggunakan teknologi, seperti open dumping, control, dan sanitary.
“Dalam skala global sebanyak 60-70% dan sekitar lebih dari 80% DIY masih memanfaatkan pembuangan landfill (pembuangan akhir). Sehingga apabila kita merujuk pada penanganan sampah dengan pembuangan akhir permasalahannya sangat tinggi. Oleh karena itu, dibutuhkan peran masyarakat, bank sampah, TPS3R segera digalakkan untuk mengurangi penimbunan sampah di TPA,” jelasnya seperti dikutip dari laman resmi UII.
Di sisi lain, narasumber kedua Prof. Dr. Prabang Setyono, S. Si., M.Si. selaku Praktisi Persampahan dan Guru Besar Ilmu Lingkungan FMIPA UNS Surakarta menjelaskan karakter sampah pada tipe pariwisata di Yogyakarta menyebabkan penumpukan sampah.
“Terdapat 3 karakter sampah sesuai dengan tipe pariwisata, seperti wisata by natural (sampah kemasan) adanya jasa lingkungan dan view object, wisata by design (sampah kulineran) seperti desa wisata, dan wisata by product (sampah spesifik) sehingga menjadi destinasi penghasil produk tertentu. Sehingga dapat diasumsikan bahwa pada tahun 2021 per wisatawan domestik dapat menghasilkan 1.750.000 kg sampah”, jelasnya.
Menurutnya, terdapat 6 konsep mazhab pengelolaan sampah, salah satunya mazhab bakar sebagai reduce dengan pemanfaatan teknologi, seperti Incinerator, Gasifikasi, Pirolisis, dan metode landfill gas. “Daerah Solo memilih implementasi jenis teknologi gasifikasi dalam pemanfaatan produk, yaitu pemrosesan sampah secara termokimia menjadi gas dengan penambahan oksigen terkontrol”, jelasnya.
Indonesia merupakan penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia. ”sehingga dibutuhkan usaha dalam pengurangan pemakaian plastik di Indonesia dan sesuai filosofi kata SAMPAH (Solusi Aktif Mengurangsi (Reduce), Pakai lagi (Reuse), Alih rupa ( Recycle) dan Hasilkan nilai tambah 5E (ekonomi, edukasi, ekologi, estetika, dan energi)”, jelasnya.
Terakhir, ia menekankan pentingnya 3K, yaitu kuantitas, kualitas, dan kontinuitas. “Dari sisi kuantitas dengan mulai mengurangi penggunaan barang sekali pakai, dari sisi kualitas dengan meningkatkan kualitas sampah menjadi barang yang didaur ulang menjadi barang baru seperti kerajinan sehingga meningkatkan nilai tambah dari sampah tersebut, dan yang terakhir dari sisi kontinuitas, yaitu merubah kebiasaan yang lama menjadi menjadi kebiasaan baru dari penggunaan sampah”, katanya.