SuaraJogja.id - Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) memberikan pandangan terkait wacana Pilkada dipilih oleh DPRD. Wacana itu dinilai merupakan langkah mundur bagi demokrasi di Indonesia.
Peneliti PSHK FH UII, M Addi Fauzani mengatakan secara yuridis, wacana Pilkada melalui DPRD, setidaknya menafikan 2 mandat konstitusional yang telah diberikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan No. 55/2019.
Pertama mandat Konstitusi yang tidak lagi membedakan rezim (asas dan prosedur) pelaksanaan Pilkada dan Pemilihan Umum (Pemilu). Hal tersebut berarti bahwa asas Pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luberjurdil) sebagaimana diatur di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945, juga harus diterapkan di dalam asas dan prosedur pelaksanaan Pilkada.
Kedua mandat Konstitusi untuk Pembentuk Undang-Undang tidak acap-kali mengubah model Pemiliu atau Pilkada yang diselenggarakan secara langsung dan serentak. Sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaannya.
Baca Juga:Tak Ingin jadi Sampah, APK Pilkada Bantul Tak Dibuang, Disulap Jadi Barang Berguna
"Secara filosofis, wacana Pilkada langsung diubah menjadi lewat DPRD telah benar-benar mengukuhkan kemunduran demokrasi di Indonesia," tegas Addi dalam keterangan tertulisnya, Senin (16/12/2024).
Data dari Economist Intelligence Unit (EIU) pada tahun 2023, Indonesia Indonesia sudah berada di peringkat ke-56 dengan skor 6,53, turun dua tingkat dari tahun 2022 dengan skor 6,71.
Pengukuran Indeks Demokrasi EIU meliputi 5 dimensi, yakni proses Pemilu dan pluralisme, keberfungsian pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil.
"Dengan skor tersebut, demokrasi Indonesia masuk dalam kategori cacat (flawed democracy)," ucapnya.
Secara sosiologis, wacana Pilkada melalui DPRD yang didasarkan pada alasan efisiensi prosedur maupun anggaran merupakan alasan yang sangat lemah. Hal ini mengingat baik Pilkada secara langsung maupun lewat DPRD sama-sama rentan akan money politic atau politik uang.
Baca Juga:Satu Tersangka Politik Uang di Pilkada Sleman Tak Kooperatif, Polisi Keluarkan DPO
"Narasi akan mahalnya Pilkada langsung justru terkesan menyalahkan rakyat. Padahal biaya mahal lahir karena politisi menggunakan cara-cara instan dengan uang untuk mendulang suara," tuturnya.
Ditambahkan Peneliti PSHK FH UII, M Erfa Redhani, melihat sisi historis usulan Pilkada oleh DPRD telah berulang kali dicoba disahkan oleh elite. Namun hasilnya tetap saja buntu.
Terakhir aturan itu dibatalkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2014 melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
"Hal ini memperlihatkan bahwa upaya-upaya pembajakan demokrasi dan kedaulatan rakyat oleh elite akan selalu berakhir dengan kegagalan," ujar Erfa.
Atas dasar itu, PSHK FH UII merekomendasikan sejumlah hal terkait wacana itu. Kepada Pembentuk Undang-Undang yakni Presiden Prabowo dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk tetap patuh pada mandat konstitusional bahwa Pilkada dilakukan berdasar asas Luberjurdil dan tidak mengganggu kepastian serta kemapanan prosedur.
Selanjutnya kepada partai politik untuk tidak mendukung wacana Pilkada melalui DPRD. Sebab hanya akan mengukuhkan kemunduran demokrasi dan menjadikan parpol sebagai pembajak demokrasi.
"Terakhir kepada seluruh elemen masyarakat, untuk mengawal dan memberikan pengawasan kepada Pembentuk Undang-Undang agar tetap teguh pada komitmen kedaulatan rakyat," tegasnya.