"Jadi mereka membangun bungker untuk mengintai kalau pasukan Sekutu datang dari laut," kata Suparyanto.
Jepang lantas melarang masyarakat untuk memasuki area bukit tersebut. Mereka membangun pagar dari besi mengelilingi perbukitan tersebut. Masyarakat dilarang masuk ke area tersebut meskipun hanya sekedar untuk menggembala ternak ataupun mencari pakan ternak.
Karena terlarang untuk aktivitas masyarakat, maka masyarakat menyebutnya ditutup (tertutup) untuk masyarakat, sehingga masyarakat kemudian menyebutnya sebagai tanah tutupan. Hingga sekarang masyarakat menyebutnya sebagai Tanah Tutupan Jepang.
Persoalan muncul ketika Jepang kalah usai dua kota mereka, Nagasaki dan Hirosima, dibom atom oleh Sekutu. Pasukan Jepang kemudian pergi meninggalkan Indonesia ketika pasukan Belanda masuk dengan membonceng Sekutu. Jepang akhirnya meninggalkan tanah tutupan begitu saja.
Baca Juga:FOTO: Labuhan Alit Keraton Jogja Saat Tingalan Jumenengan Dalem Sri Sultan HB X
Suparyanto menyebut, taktik jitu kemudian dilakukan oleh Raja Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat, yang kala itu oleh Belanda disebut sebagai pemerintahan Swapraja, di mana ada Kadipaten Pakualaman dan Kerajaan Mataram. Kala itu, Sultan bersama Adipati Pakualaman menyatakan diri bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) agar tidak dikuasai oleh Belanda.
"Memang Sultan luar biasa kala itu," tandas dia.
Kala itu, semua kekayaan milik Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat disumbangkan ke NKRI untuk kepentingan bangsa ini. Namun ada satu yang lupa dibahas, yaitu Tanah Tutupan, yang merupakan tanah rampasan Jepang kala menduduki Indonesia tersebut.
Status Tanah Tutupan tersebut kemudian mengambang karena masih dalam penguasaan Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat. Masyarakat tidak bisa memanfaatkannya secara maksimal meskipun mereka adalah keturunan dari pemilik yang asli.
Suparyanto menyebut, ada 256 bidang tanah di Tanah Tutupan tersebut dan telah memiliki Letter C. Sebanyak 256 orang yang menguasai tanah tutupan tersebut sudah meninggal. Dirinya adalah generasi ketiga dari salah satu pemilik tanah tutupan saat itu.
Baca Juga:Jumenengan Dalem Sri Sultan HB X, Keraton Jogja Gelar Labuhan Alit di Pantai Parangkusumo
"Nah dari 256 orang pemilik awal tanah tutupan tersebut sudah beranak pinak dan kini sudah mencapai 1.400 orang lebih," kata dia.