Dari sisi teknologi, rencana kehadiran insinerator atau mesin pembakar sampah di Kota Yogyakarta disambut baik. Hal itu diharapkan dapat membantu penanganan masalah yang masih berlangsung di Kota Yogyakarta.
"Itu (opersional insinerator) bisa juga dengan kerja sama di kampus-kampus di Jogja. Banyak ahli yang bisa memastikan operasionalnya baik. Kampus bisa menjadi mitra untuk pemilihan teknologi yang tepat kemudian masalah monitoring analisis efisiensi insinerator dan sebagainya," cetusnya.
Di sisi lain, sektor informal pun perlu mendapatkan pembinaan lebih dari pemerintah. Mengingat tak jarang, pengepul sampah mandiri yang menjadi ujung tombak pengangkutan sampah di Kota Yogyakarta.
Tidak kalah penting yakni pengolahan secara mandiri sampah organik di level rumah tangga. Apalagi, kata Wiratni, lebih dari 50 persen sampah yang diproduksi masyarakat merupakan sampah dapur atau organik.
Baca Juga:Pembangunan TPST Donokerto Capai 72 Persen, Diproyeksi Kelar Akhir Tahun Ini
"Sebenarnya kalau setiap rumah tangga rajin ngopeni komposter itu jumlah sampah yang dibuang ke (pengepu/depol) itu berkurang banget karena kebanyakan sampah rumah tangga itu ternyata lebih dari 50 persen itu sampah dapur sampah yang gampang busuk, sisa makanan," tegasnya.
Di sini lah peran dari berbagai pihak termasuk kampus untuk hadir memberikan edukasi menyeluruh di level hulu. Diperlukan sinergi yang kuat tak hanya dari pemerintah untuk mengatasi persoalan sampah di Yogyakarta.
"Kondisi ideal itu sampah organik bisa dikelola sendiri di rumah masing-masing yang dibuang adalah sampah-sampah residu yang memang rumah tangga enggak bisa ngolah atau sampah pampers. Ini bagian yang harus diedukasikan ke masyarakat dan ini berat sekali kalau pemerintah kerja sendiri," pungkasnya.