Termasuk pelaksanaan bimbingan teknis (bimtek) pengolahan sampah organik berupa pembuatan biopori kepada masyarakat. Program itu dilakukan di 45 kelurahan melalui gerakan Organikkan Jogja sebagai wujud komitmen warga menyelesaikan sampah dari rumah.
"Dari total 200 ton sampah yang dihasilkan Kota Yogyakarta setiap harinya ini belum sepenuhnya selesai sehingga untuk sisanya dibantu pihak swasta yang berada di Sleman dan Bantul," ucapnya.
"Sekitar 180 ton sampah per hari telah dikelola pada 4 lokasi, yaitu TPS 3R Nitikan sebanyak 60 hingga 70 ton sampah, TPS 3R Kranon sebanyak 30 ton, TPS 3R Karangmiri sekitar 15 ton, dan TPS 3R Sitimulyo sebanyak 30 ton sampah. Ditambah pengolahan secara termal di Giwangan dan Sitimulyo berkisar 40 ton per lokasi serta sisanya lebih 20 ton yang harus diserahkan kepada pihak swasta," tambahnya.
Hilir Sudah Baik, Hulu Masih Jadi PR
Baca Juga:Pembangunan TPST Donokerto Capai 72 Persen, Diproyeksi Kelar Akhir Tahun Ini
Peneliti pengelolaan sampah terintegrasi dari Teknik Kimia Fakultas Teknik UGM, Wiratni, menilai bahwa saat ini pengelolaan sampah di hilir sudah berada pada jalur yang tepat. Namun di hulu menjadi persoalan yang belum terselesaikan.
"Problemnya sekarang lebih di hulu, kalau yang di hilir sebetulnya pemerintah sudah baik arahnya untuk membuat pengolahan sampah di hilir," kata Wiratni.
Secara umum persoalan sampah tidak hanya terjadi di Yogyakarta saja. Namun, permasalahan itu menjadi lebih rumit ketika TPA yang menjadi andalan di Yogyakarta sudah ditutup secara permanen.
Keputusan penutupan TPA Piyungan itu yang kemudian membuat masyarakat dan pemerintah Yogyakarta kelabakan. Walaupun upaya desentralisasi sudah dilakukan di seluruh kabupaten kota yang ada.
![Kondisi tumpukan sampah di lahan transisi zona I, TPST Piyungan, Bantul, Minggu (23/7/2023). [Kontributor Suarajogja.id/ Julianto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2023/07/23/61904-tpst-piyungan.jpg)
"Perubahan mendadak ya kalau menurut saya enggak mungkin juga bisa selesai secara instan. Tapi kalau saya lihat usaha kabupaten, kota penghasil sampah yang gede Sleman, Bantul, Kota, itu mereka menurut saya sudah melakukan upaya ke arah yang benar," tandasnya.
"Memang perlu waktu untuk benar-benar selesai, karena permasalahan sampah ini dari hulu ke hilir, yang pemerintah sekarang ini lakukan mereka berusaha menyediakan fasilitas di hilir dan ini menurut saya untuk kapasitas pemerintah ini sudah benar. Mereka memang harus menyediakan fasilitas itu," tambahnya.
Menurut Wiratni, evaluasi di sisi hulu tersebut yang hingga saat ini masih perlu dilakukan. Apalagi setelah selama ini masyarakat terlalu dimanjakan dengan keberadaan TPA Piyungan.
Masih kurangnya kesadaran warga untuk memilah sampah menjadi persoalan mendasar. Pengolahan sampah milik pemerintah pun tak akan optimal jika sampah dari masyarakat masih tercampur atau belum terpilah.
"Nah pengolahan sampah itu semakin nyampur semakin sulit, belum bau dan sebagainya. Jadi ironi juga masyarakat protes ini pengolahan sampah bau lah tapi kan sampahnya dari mana sih, kan dari masyarakat juga. Tapi itu harus dimaklumi juga, karena mengubah perilaku itu enggak segampang membalikkan tangan gitu," ujarnya.
Wiratni melanjutkan pemerintah tentu tidak punya cukup energi dan sumber daya untuk mengedukasi masyarakat secara door to door atau pintu ke pintu. Di sini lah peran kampus-kampus di Jogja untuk merumuskan dan melakukan edukasi itu.
"Kampus siap membantu untuk mengedukasi di bagian hulu supaya mengolah beban pengolahan di bagian hilir," tegasnya.