"Kemudian wisatawan akan kami ajak ke kebun untuk melihat dari dekat tanaman obat, istilahnya kalau di sini kami namakan jelajah wisata. Itu nanti mengenali tanaman dan khasiatnya," katanya.
Sutrisno mengaku sempat memiliki setidaknya 130 jenis tanaman obat saat sebelum kemarau datang. Bahkan ia hafal seluruh tanaman dan khasiatnya.
Setelah diajak ke kebun, wisatawan akan belajar membuat jamu sesuai dengan yang dinginkan oleh masing-masing wisatawan. Ada yang berkenan jamu dengan cita rasa pahit atau bahkan manis nanti akan dibimbing untuk membuatnya.
"Sebenarnya waktu pandemi Covid-19 ini saya sudah janjian dengan tiga kelompok yang akan berkunjung ke sini tapi terpaksa harus dipending dulu," imbuhnya.
Baca Juga:Beredar Pesan Rantai Operasi Masker Denda Rp250 Ribu, Ditlantas DIY: Hoax
Namun meskipun begitu pihaknya mengaku bahwa Pemkab Bantul telah membuka kembali tempat-tempat wisata yang ada termasuk dengan Desa Wisata Jamu Kiringan. Hal yang tidak boleh lepas dari pengawasan adalah mematuhi protokol kesehatan pencegahan Covid-19 bagi siapapun yang datang.
Pihaknya mengaku sudah mempersiapkan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menunjang hal itu. Dibantu oleh Dinas Pariwisata Bantul, pihaknya telah menyiapkan tempat cuci tangan segala imbauan lainnya di sekitar desa.
"Kita paling banyak pernah didatangi sebanyak 170 orang dari salah satu SMA di Bogor. Itu sebelum ada pandemi," ungkapnya.
Melihat antusiasme pengunjung yang datang pihaknya mengaku terus membuat tambahan kegiatan yang juga cukup menyenangkan. Salah satunya dengan mengajak setiap pengunjung untuk menanam sendiri tanaman jamu di lahan yang telah disediakan.
Sutrisno yang tak ingin wisatawan itu hanya berkunjung ke satu lokasi saja, mulai mencari cara lagi untuk memperluas cakupan wilayah untuk setiap kunjungan wisatawan. Cara yang dilakukan Sutrisno yakni meminta ibu-ibu untuk menanam atau mempunyai tanaman obat sebanyak 10 buah per rumah.
Baca Juga:DIY Terbitkan Pergub Protokol Kesehatan, Izin Usaha Dicabut jika Melanggar
"Tujuannya agar bisa menyediakan oleh-oleh untuk para wisatawan yang datang jika memang ada yang berkenan membawa pulang," ucapnya.
Pihaknya sempat mendapat usulan dari salah satu pengunjung yang menginginkan untuk memanen jamu secara langsung. Dikatakan Sutrisno bahwa salah satu kendala utama dalam memanen jamu itu adalah keterbatasan lahan.
Namun pihaknya sudah berkoordinasi dengan warga lain untuk rencananya menyediakan lahan kosong untuk ditanami tanaman obat keluarga (toga). Menurutnya hal itu di sisi lain juga lebih menguntungkan.
"Sebenarnya bisa untung juga, misalnya harga temulawak perkilo Rp. 4.000, dengan membuka kegiatan baru yakni memanen itu tadi bisa kita jual Rp.12.000 dan wisatawan juga senang ada pengalaman dan kepuasan tersendiri," jelasnya.
Tidak hanya di Dusun Kiringan saja, bahkan pihaknya juga sudah berkoordinasi dengan tingkat kelurahan untuk meminta desa lain sebagai penyangganya. Bukan untuk dijual perkilo tapi lebih kepada pengalaman wisatanya.
Bukan hanya lahan yang jadi kendala atau kesulitan Sutrisno untuk terus membangun desa wisata itu. Kesulitan lain muncul dari kurangnya partisipasi dari para bapak-bapak dalam memajukan desa wisata jamu ini. Pasalnya sejauh ini hanya ibu-ibu yang menjadi ujung tombak dalam menerima tamu dan segala macamnya terkait dengan desa wisata.